2/28/2013

Home
Log In
Sign Up

EKONOMI POLITIK pers
by rijon sianturi

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 19

EKONOMI POLITIK REGULASI MEDIA(RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)

Oleh :
Nawiroh Vera , M.Si

Fakultas Ilmu KomunikasiUniversitas Budi Luhur
Abstract
The political economy of mass media is the study of control and survival insocial life. The important issues of the freedom of the pers era in Indonesiaright now, is not only freedom from absolutisme and authoritarian policy, Themore important things is how to built freedom for the people and freedom of the people. This article try to look objectively about RUU pornografi issues and why need a long time to proof it.
1. PENDAHULUAN
Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satupilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlahsekedar ‘kebebasan dari’ (
freedom from absolutisme
), kekuasaan otoriter,sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin UsahaPenerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuahHarian melalui
fit and proper test
yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dariitu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’(
freedom for the people
) dan kebebasan manusia (
freedom of the people
).Kebebasan dimaksud dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dankonsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehinggakebebasan manusia, meminjam istilah
Feurbach
sebagai
galthung
makhlukalamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapatterealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan.Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakanpendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasisebagai individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang

20 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
‘sesungguhnya’ adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosialmenuju demokratisasi, sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi politik publik luas yang didorong oleh mekanismealur informasi yang bebas. Bukan bebas tanpa aturan seperti kita lihat diberbagai media massa Indonesia saat ini. Rupanya kebebasan pers yangdibuka pemerintah membawa dampak yang sangat luas, yaitu runtuhnya nilai-nilai moral dan agama dikalangan masyarakat Indonesia yang terlena olehkebebasan, termasuk kebebasan berperilaku yang mengabaikan rasa malu.Pers bebas rupanya telah disalahartikan, bahkan oleh insan pers itu sendiri.Pers bebas berarti boleh menampilkan foto-foto wanita atau pria berbusanaminim, nyaris bugil, memuat cerita-cerita yang membangkitkan nafsu birahidan gambar atau film yang mempertontonkan hubungan sex secara vulgar. Haltersebut memunculkan keprihatinan banyak pihak akan dampak tayanganmedia yang berbau porno.Dalam wilayah itu, tarik-menarik atas kontroversi RUU anti Pornografi danpornoaksi (selanjutnya disebut RUU APP) yang dibuat oleh tim inisiatif DPRyang kini masih ‘ngendon’ di pemerintah patut dipertanyakan. Pilihanpemerintah untuk menunda pengesahan RUU tersebut bisa menimbulkan efekyang kontra-produktif bagi jalannya proses transisi demokrasi ini. Di satu sisi,pemerintah hendak membangun kepercayan publik (
public trust
) bagi upaya
recovery
/ pemulihan ekonomi akibat krisis. Di sisi lain, pemerintah dihadapkanoleh situasi penolakan baik oleh para pemilik kapital media massa yang juga didukung melalui pemberitaan media terhadap nasib RUU APP yang merekasebut sebagai “melecehkan perempuan” dan “melanggar HAM”.Misalnya, judul pemberitaan yang dimuat oleh media cetak tentang RUUtersebut;
RUU Pornografi Dinilai Langgar HAM
( Media Indonesia Senin

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 21

27/2/2006),
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi Melecehkan Perempuan
(Jurnal perempuan, 28 Mei 2004), dan seterusnya. Atau juga oleh berbagai LSM diantaranya Yayasan Jurnal Perempuan.Gadis Arivia yang mewakili sebagai direktur eksekutif yayasan tersebut menilai RUU APP yang akan disahkan tersebut sangat represif dan menghancurkan budayamasyarakat, khususnya perempuan. Gadis mencontohkan, didalam RUUtersebut disebutkan bahwa mempertontonkan payudara dimuka umum akandikenakan ancaman hukuman 1 – 5 tahun penjara atau denda 50 – 250 juta.Persoalannya, disejumlah daerah di Indonesia ini masih banyak perempuanyang memang lebih senang telanjang dada bukan karena pornografi tetapimemang budayanya begitu. Apakah perempuan dengan kultur seperti ini harusdidenda. Menurut Gadis, bentuk inilah yang dimaksud represif dalam RUUtersebut. Padahal pemahaman budaya yang direpresif itu akanmenghancurkan budaya itu sendiri.Pada saat demikian, pilihan penundaan pengesahan RUU tersebut memilikidua makna yang signifikan
. Pertama
, belum munculnya
political will
pemerintah untuk benar-benar memproduksi undang-undang yang partisipatif dan akomodatif bagi keberlangsungan hajat publik bagi terbukanya ruangpublik yang terbuka, setara, dan menjamin kepentingan hak-hak asasimanusia. Dengan demikian, penundaan itu bisa dilihat sebagai kasus dariadanya upaya negosiasi elektron kepentingan bisnis dari kelompok-kelompoktertentu dengan pemerintah untuk secara sadar mempengaruhi dan mengubahsubstansi dasar RUU anti pornografi. Mengapa? Secara substansif RUU antipornografi dan pornoaksi mengandung nilai-nilai moral dan pembatasanterhadap isi media pada umumnya, yang saat ini dikhawatirkan akanmembatasi celah-celah ekonomi-bisnis mereka atau bisa juga menutup samasekali ruang bagi produk-produk cabul yang terus merajalela di pasaran. Disamping itu, RUU tersebut juga memuat upaya terciptanya perubahan nilai-

22 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
nilai sosial, misalnya moralisme masyarakat, dan terciptanya kultur masyarakatyang beradab.
Kedua
, lebih lanjut, penundaan tersebut memperlihatkan praktek-praktek relasikekuasaan antara
state
di satu sisi, dengan
market
di sisi lain yangmembangun hubungan mutualistik-otokratik.Dalam wilayah ini, yang menjadikekhawatiran publik menjadi jelas dihadapan bahwa persekutuan antara
state
dan
market
tidak lebih dari usaha mencari keuntungan dalam wilayah ekonomi.Praktek ini menunjukan domain publik yang dipinggirkan atas nama ‘kebijakan’yang sama sekali keluar dari nilai-nilai kebijakan itu sendiri. Pemerintah (
state
)sebagai
decision maker
kebijakan tidak lagi mementingkan aspirasi dankepentingan publik. Problem ini menjadi tanggung-jawab bersama-sama olehsetiap individu dalam masyarakat.Makalah ini akan berusaha melihat muatan-muatan RUU APP dan beberapapasal-pasal yang dianggap kontroversial, dan perlu diadakan perubahan. Jugahendak menunjukan relevansinya terhadap kesadaran publik bagi konstruksisosial baru di masyarakat. Ide-ide pemenuhan domain publik secara luas,bebas dari intervensi, hegemoni negara, sentralisme dan monopolisme kapital,
equality
(kesetaraan) dan
liberty
(kebebasan) masyarakat menjadi substereuntuk digagas lebih lanjut. Di sinilah letak cepat-lambatnya gerakan sosialyang membawa risalah kesadaran kritis publik terhadap, meminjam istilah
Gramsci
hegemoni negara yang dominan, untuk menuju
civil society
.
2. PEMBAHASANKONSEPTUALISASI PENDEKATAN POLITIK EKONOMI MEDIA MASSA
Konsepsi politik ekonomi pada awalnya bermula dari upaya dukunganterhadap akselerasi kapitalis yang menolak sistem politik merkantilis yangdianggap tidak efektif dan efesien pada abad ke-18. Secara historis, The NewPalgrave 1
,
membuat definisi politik ekonomi sebagai studi tentang

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 23

kesejahteraan dan usaha manusia untuk memenuhi nafsu perolehan

(penawaran dan pemenuhan hasrat).Konsep politik ekonomi merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi(
oikos
dan
nomos
) terkait pada tata-atur rumah tangga, politik (
polis
)berdimensi kota-negara (
city-state
). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsipolitik ekonomi klasik, ditandai oleh munculnya pandangan liberal yang diawalioleh Adam Smith, David Ricardo, dan kawan-kawan.Selanjutnya, politik ekonomi dipandang sebagai kombinasi dari kajian relasinegara/pemerintah terhadap aktivitas industri individu (
Palgrave
, 1917).

Dengan demikian, konsepsi politik ekonomi dapat dirumuskan sebagai studitentang relasi-relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang dalaminteraksinya secara bersama-sama menentukan sisi produksi, distribusi dankonsumsi sumber daya (
Vincent Mosco
, 1996).Bila dikaitkan dengan wilayah komunikasi, khususnya industri media massa,sumber daya yang dimaksud berupa surat kabar, televisi, buku, video, film,pemirsa dan seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (
resource
)untuk didistribusikan ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi,distribusi, dan konsumsi dalam industri media massa melibatkan relasi pihak jurnalis, organisasi media, pemilik modal atau kapitalis (perspektif ekonomi-bisnis), dan negara—atau tepatnya pemerintah (perspektif politis). Yangdiutamakan adalah terjadinya alur umpan balik proses produksi yangmelibatkan jaring-jaring produser, agen, pengecer, dan konsumen beli-sewadalam mata rantai komersial.Selanjutnya pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utamatentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, danideologi media itu sendiri.

24 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
Dalam konteks media sebagai institusi kapitalis, ada 3 konsep penting yangdiutarakan oleh
Mosco
(1996), yaitu:1. Komodifikasi, di mana media massa menjadi penting dalam proseskomodifikasi karena menjadi tempat produksi komoditas dan berperanpenting dalam periklanan.2. Spatialisasi, merupakan perpanjangan institusi dari kekuasaanperusahaan dalam industri komunikasi.3. Strukturasi, di mana terciptanya suatu struktur dalam masyarakat yangdiciptakan oleh agen manusia dengan struktur sosial dan mempunyaihubungan antara satu dan yang lainnya.Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titikkesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks padaprinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teksdimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atauideologi kelas tertentu. Pada titik tertentu, pada diri teks media sudah bersifatideologis (
Littlejohn
, 2002:217).Hubungan media massa dengan ideologi, menurut
Althusser
, adalah bahwamedia dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai
ideological state apparatus
(
Eriyanto
, 2001:87-102). Dengan demikian, mediamassa berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenaran praktek represi yangdilakukan negara kepada para warganya.Setidaknya ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memahamihubungan ideologi dengan media.

Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasisecara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yangberbeda menuju perbedaan makna.

Kedua, status ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologisendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa
Send the Academia.edu team a comment

Job Board
About
Press
Blog
We're hiring engineers!
FAQ
Feedback
Terms
Privacy
Copyright

Academia © 2013

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق

BACA DAN PAHAMI