2/17/2013

Agenda Setting Media dan Penerapannya
Dipublikasi pada 14 November 2011 oleh fatmafarama
Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Dan Agenda Setting Theory adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang agenda setting adalah:
(1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
(2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain;
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep agenda setting adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal
Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Menurut McCombs dan Shaw, “we judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997).
Menurut teori agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk berubah sikap tetapi dengan fungsinya sebagai gate keeper (penjaga gawang atau penyaring) yang memilih suatu topik dan persoalan tertentu dan mengabaikan yang lain. Dengan menonjolkan suatu persoalan tertentu dan mengesampingkan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia seperti yang disajikan dalam media massa. (Rakhmat, 1989:259-260), ini berarti media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang dan mempengaruhi persepsi khalayak tentang yang dianggap penting.
Bernard Coher, (1963) seorang ahli politik dengan singkat menyatakan asumsi dasarnya mengenai agenda setting, menurutnya :
“Media massa lebih sekedar memberi informasi atau opini media massa mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi media massa sangat berhasil mendorong khalayak untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”. (Rakhmat, 1989:227)
Hampir satu dasa warsa Mc Combs dan Shaw mengemukakan agenda setting khalayak terhadap persoalan tersebut, singkatnya apa yang dianggap penting media dianggap penting oleh masyarakat dan apa yang dilupakan oleh media massa juga akan luput dari perhatian masyarakat.
Penelitian empiris tentang teori agenda setting dilakukan oleh Mc. Combs dan Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden pada tahun 1972 mereka menulis antara lain : dampak media dalam kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif diantara individu-individu telah dijuluki sebagai fugsi agenda setting dan komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi, yang terpenting kemampuan media untuk strukrurisasi dunia untuk kita.
Teori agenda setting dimulai dengan asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, tulisan yang akan disiarkan, setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar atau waktu televisi dan radio), dan cara penonjolan (ukuran judul pada surat kabar, frekuensi penyiaran pada televisi dan radio)
Contoh kasus Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550, Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.
Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia fashion mengambil kesempatan ini untuk menarik style untuk kemudian menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat bak meteor. Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.
Mengenal Organisasi Pers 13 Agustus, 2009
Posted by abdurrosyid in Hobiku Menulis.
Tags: fungsi, jabatan, media, organisasi, pers, redaksi, wartawan
trackback
Lembaga atau perusahaan pers, sebagaimana lembaga atau perusahaan pada umumnya, memiliki organisasi yang terdiri dari berbagai macam jabatan. Jabatan-jabatan tersebut disusun berdasarkan fungsi-fungsinya. Dan masing-masing jabatan memiliki tugasnya masing-masing. Berikut ini bagan organisasi tersebut.

1. Dewan Redaksi
Dewan Redaksi biasanya beranggotakan Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Wakilnya, Redaktur Pelaksana, dan orang-orang yang dipandang kompeten menjadi penasihat bagian redaksi. Dewan Redaksi bertugas memberi masukan kepada jajaran redaksi dalam melaksanakan pekerjaan redaksional. Dewan Redaksi pula yang mengatasi permasalahan penting redaksional, misalnya menyangkut berita yang sangat sensitif atau sesuai-tidaknya berita yang dibuat tersebut dengan visi dan misi penerbitan yang sudah disepakati.
2. Pemimpin Umum
Bertanggung jawab atas keseluruhan jalannya penerbitan pers, baik ke dalam maupun ke luar. Dapat melimpahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum kepada Pemimpin Redaksi sepanjang menyangkut isi penerbitan (redaksional) dan kepada Pemimpin Usaha sepanjang menyangkut pengusahaan penerbitan.
3. Pemimpin Redaksi
Pemimpin Redaksi (Pemred, Editor in Chief) bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik media massa yang dipimpinnya. Di surat kabar mana pun, Pemimpin Redaksi menetapkan kebijakan dan mengawasi seluruh kegiatan redaksional. Ia bertindak sebagai jenderal atau komandan.
Pemimpin Redaksi juga bertanggung jawab atas penulisan dan isi Tajuk Rencana (Editorial) yang merupakan opini redaksi (Desk Opinion). Jika Pemred berhalangan menulisnya, lazim pula tajuk dibuat oleh Redaktur Pelaksana, salah seorang anggota Dewan Redaksi, salah seorang Redaktur, bahkan seorang Reporter atau siapa pun — dengan seizin dan sepengetahuan Pemimpin Redaksi— yang mampu menulisnya dengan menyuarakan pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.
Berikut ini tugas Pemimpin Redaksi secara lebih terinci:
1. Bertanggungjawab terhadap isi redaksi penerbitan
2. Bertanggungjawab terhadap kualitas produk penerbitan
3. Memimpin rapat redaksi
4. Memberikan arahan kepada semua tim redaksi tentang berita yang akan dimuat pada setiap edisi.
5. Menentukan layak tidaknya suatu berita, foto, dan desain untuk sebuah penerbitan
6. Mengadakan koordinasi dengan bagian lain seperti Pemimpin Perusahaan untuk mensinergikan jalannya roda perusahaan
7. Menjalin lobi-lobi dengan nara sumber penting di pemerintahan, dunia usaha, dan berbagai instansi
8. Bertanggung jawab terhadap pihak lain, yang karena merasa dirugikan atas pemberitaan yang telah dimuat, sehingga pihak lain melakukan somasi, tuntutan hukum, atau menggugat ke pengadilan. Sesuai aturan, tanggung jawab oleh Pemimpin Redaksi bila dilimpahkan kepada pihak lain yang dianggap melakukan kesalahan tersebut.
4. Sekretaris Redaksi
Seorang Sekretaris Redaksi memiliki tugas sebagai berikut:
1. Menata dan mengatur undangan dari instansi, perusahaan, atau lembaga yang berkaitan dengan pemberitaan
2. Menghubungi sumber berita atau instansi untuk pendaftaran, konfirmasi, atau pembatalan undangan, wawancara, dan kunjungan kerja
3. Menyimpan salinan kartu pers dan foto untuk mensuport kebutuhan kerja para wartawan dalam meliput satu acara yang mengharuskan membuat tanda pengenal seperti menyiapkan
4. Menyediakan peralatan kerja redaksi seperti tape, batu baterei, kaset, alat tulis, dan note book
5. Menata keperluan keuangan redaksi: uang perjalanan, uang saku, uang rapat.
6. Mengatur jadwal rapat redaksi: rapat perencanaan, rapat cheking, rapat final.
5. Redaktur Pelaksana
Di bawah Pemred biasanya ada Redaktur Pelaksana (Redaktur Eksekutif, Managing Editor). Tanggung jawabnya hampir sama dengan Pemred, namun lebih bersifat teknis. Dialah yang memimpin langsung aktivitas peliputan dan pembuatan berita oleh para reporter dan editor.
Adapun rincian tugas Redaktur Pelaksana adalah sebagai berikut:
1. Bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja redaksi sehari-hari
2. Memimpin rapat perencanaan, rapat cecking, dan rapat terakhir sidang redaksi
3. Membuat perencanaan isi untuk setiap penerbitan
4. Bertanggung jawab terhadap isi redaksi penerbitan dan foto
5. Mengkoordinasi kerja para redaktur atau penanggungjawab rubrik/desk
6. Mengkoordinasikan alur perjalanan naskah dari para redaktur ke bagian setting atau lay out.
7. Mengkoordinator alur perjalanan naskah dari bagian setting atau lay out ke percetakan
8. Mewakili Pemred dalam berbagai acara baik ditugaskan atau acara mendadak
9. Mengembangkan, membina, menjalin lobi dengan sumber-sumber berita
10. Mengedit naskah, data, judul, foto para redaktur
11. Mengarahkan dan mensuvervisi kerja para redaktur dan reporter
12. Memberikan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif kepada redaktur secara periodik.
6. Redaktur
Redaktur (editor) sebuah penerbitan pers biasanya lebih dari satu. Tugas utamanya adalah melakukan editing atau penyuntingan, yakni aktivitas penyeleksian dan perbaikan naskah yang akan dimuat atau disiarkan. Di internal redaksi, mereka disebut Redaktur Desk (Desk Editor), Redaktur Bidang, atau Redaktur Halaman karena bertanggung jawab penuh atas isi rubrik tertentu dan editingnya. Seorang redaktur biasanya menangani satu rubrik, misalnya rubrik ekonomi, luar negeri, olahraga, dsb. Karena itu ia dikenal pula dengan sebutan “Jabrik” atau Penanggung Jawab Rubrik.
Berikut ini tugas seorang redaktur secara lebih terinci:
1. Mengusulkan dan menulis suatu berita dan foto yang akan dimuat untuk edisi mendatang
2. Berkoordinasi dengan fotografer dan riset foto dalam pengadaan foto untuk setiap penerbitan
3. Membuat lembar penugasan atau Term Of Reference (TOR) kepada para reporter dan fotografer
4. Mengarahkan dan membina reporter dalam mencari berita dan mengejar sumber berita
5. Memberikan penilaian kepada reporter baik penilaian kualitatif maupun kuantitatif.
6. Memberikan laporan perkembangan kepada atasannya yaitu Redaktur Pelaksana
7. Koordinator Liputan
Koordinator Liputan memiliki tugas sebagai berikut:
1. Memantau dan mengagendakan jadwal berbagai acara: seminar, press conference, acara DPR dll
2. Membuat mekanisme kerja komunikasi antara redaktur dan reporter
3. Memberikan lembar penugasan kepada reporter/wartawan dan fotografer
4. Mengadministrasikan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap reporter
5. Memantau tugas-tugas harian para wartawan/reporter
6. Melakukan komunikasi setiap saat kepada para redaktur, reporter/wartawan, dan fotografer
7. Memberikan penilaian kepada reporter/wartawan secara kuantitas maupun kualitas
8. Reporter
Di bawah para editor adalah para reporter. Mereka merupakan “prajurit” di bagian redaksi. Mencari berita lalu membuat atau menyusunnya, merupakan tugas pokoknya.
Ini adalah jabatan terendah pada bagian redaksi. Tugasnya adalah melakukan reportase (wawancara dan sebagainya ke lapangan). Karena itu, merekalah yang biasanya terjun langsung ke lapangan, menemui nara sumber, dan sebagainya.
Tugas seorang reporter secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
1. Mencari dan mewawancarai sumber berita yang ditugaskan redaktur atau atasan
2. Menulis hasil wawancara, investasi, laporan kepada redaktur atau atasannya
3. Memberikan usulan berita kepada redaktur atau atasannya terhadap suatu informasi yang dianggap penting untuk diterbitkan
4. Membina dan menjalin lobi dengan sumber-sumber penting di berbagai instansi
5. Menghadiri acara press conferensi yang ditunjuk redaktur, atasannya, atau atas inisiatif sendiri.
9. Redaktur Bahasa / Korektor Naskah
Seorang Redaktur Bahasa / Korektor Naskah memiliki tugas sebagai berikut:
1. Memeriksa,mengedit, dan menyempurnakan naskah sesuai dengan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
2. Menyesuaikan naskah yang sudah diedit dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jurnalistik
3. Mengubah pengulangan kata-kata yang sama dalam satu tulisan, sehingga kalimat dalam naskah menjadi bervariasi.
4. Mengedit penggunaan logika bahasa, alur naskah
5. Menyeragamkan style penulisan masing-masing redaktur, sehingga gaya penulisan seluruh naskah menjadi sama
6. Memeriksa naskah kata per kata, penggunaan titik, koma, tanda seru, titik dua.
7. Mengedit penggunaan kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, bahasa slank sehingga mudah dimengerti pembaca.
10. Fotografer
Fotografer (wartawan foto atau juru potret) tugasnya mengambil gambar peristiwa atau objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita yang dibuat wartawan tulis. Ia merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisa (reporter).
Jika tugas wartawan tulis menghasilkan karya jurnalistik berupa tulisan berita, opini, atau feature, maka fotografer menghasilkan Foto Jurnalistik (Journalistic Photography, Photographic Communications). Fotografer menyampaikan informasi atau pesan melalui gambar yang ia potret. Fungsi foto jurnalistik antara lain menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to entertain).
Adapun tugas seorang fotografer secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
1. Menjalankan tugas pemotretan yang diberikan redaktur atau atasannya
2. Melakukan pemotretan sumber berita, suasana acara, aktivitas suatu objek, lokasi kejadian, gedung, dan benda-benda lain
3. Mengusulkan konsep desain untuk cover majalah
4. Menyediakan foto-foto untuk mendukung naskah, artikel, dan berita
5. Mengarsip foto-foto, filem negatif, atau compact disk bagi kamera digital
6. Melaporkan setiap kegiatan pemotretan kepada atasan
7. Mempertanggungjawabkan setiap penggunaan filem negatif, baterai, atau compact disk yang telah digunakan kepada perusahaan
11. Koresponden
Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki Koresponden (correspondent) atau wartawan daerah, yaitu wartawan yang ditempatkan di negara lain atau di kota lain (daerah), di luar wilayah di mana media massanya berpusat.
12. Kontributor
Kontributur atau penyumbang naskah/tulisan secara struktural tidak tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Ia terlibat di bagian redaksi secara fungsional. Termasuk kontributor adalah para penulis artikel, kolomnis, dan karikaturis. Para sastrawan juga menjadi kontributor ketika mereka mengirimkan karya sastranya (puisi, cerpen, esai) ke sebuah media massa.
Wartawan Lepas (Freelance Journalist) juga termasuk kontributor. Wartawan Lepas adalah wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu, sehingga bebas mengirimkan berita untuk dimuat di media mana saja, dan menerima honorarium atas tulisannya yang dimuat.
Termasuk kontributor adalah Wartawan Pembantu (Stringer). Ia bekerja untuk sebuah perusahaan pers, namun tidak menjadi karyawan tetap perusahaan tersebut. Ia menerima honorarium atas tulisan yang dikirim atau dimuat.
13. Riset, Pustaka, dan Dokumentasi
Bagian Riset, Pustaka, dan Dokumentasi memiliki tugas sebagai berikut:
1. Mencari data-data, artikel, tulisan yang dibutuhkan untuk sebuah penulisan oleh reporter, redaktur, redaktur pelaksana, dan Pemimpin Perusahaan.
2. Mencari dan menata buku-buku yang berkaitan dengan tugas dan kerja para wartawan
3. Menata majalah, surat kabar, dan tabloid setiap hari dan menyimpannya dengan baik sesuai aturan
4. Melakukan kerja sama dengan bagian riset dan dokumentasi perusahaan lainnya seperti barter majalah, koran, tabloid, dan buku.
5. Mengusulkan suatu berita kepada redaksi bila dalam melaksanaan tugas menemukan data-data atau informasi penting
14. Artistik
Bagian Artistik memiliki tugas sebagai berikut:
1. Merancang cover atau kulit muka
2. Membuat dummy atau nomor contoh sebelum produk di cetak dan dijual ke pasa
3. Mendesain dan melay out setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka
4. Mengatur peruntukan halaman untuk naskah
5. Menulis judul berita,anak judul, caption foto, nama penulis pada setiap naskah
6. Menulis nomor halaman, nama rubrik/desk, nomor volume terbit, hari terbit, dan tanggal terbit pada setiap edisi
15. Pracetak
Bagian Pracetak memiliki tugas sebagai berikut:
1. Membawa naskah yang sudah disetujui pemimpin redaksi ke percetakan untuk dicetak
2. Mengawasi proses pencetakan di percetakan
3. Menerima kondisi produk dalam keadaan baik dari percetakan
4. Bersama dengan bagian distribusi, segera mengedarkan produk tersebut ke pasar
16. Pemimpin Usaha
Pemimpin Usaha berada dibawah Pemimpin Umum, sejajar dengan Pemimpiin Redaksi. Kalau Pemimpin Redaksi hanya berurusan dengan masalah keredaksian, maka Pemimpin Usaha khusus berurusan dengan masalah komersial.
Pemimpin Usaha bertugas menyebarluaskan media massa, yakni melakukan pemasaran (marketing) atau penjualan (selling) media massa. Pemimpin Usaha ini membawahi Manajer Keuangan, Manajer Pemasaran, Manajer Sirkulasi / Distribusi, dan Manajer HRD (Human Resource Development).
undang-undang no.40 tahun 1999 tentang pers di indonesia
Posted on September 18, 2008 | Tinggalkan Komentar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. UU
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
Kode Etik Jurnalistik
Share this post

KODE ETIK JURNALISTIK (KEJ)

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.


Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

(Kode Etik Jurnalistik ini ditandatangani oleh 29 organisasi pers di Jakarta, 14 Maret 2006. Dewan Pers menetapkannya melalui Surat Keputusan Nomor 03/SK-DP/III/2006 yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008)
Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
2. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.
PRINSIP KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Prinsip-prinsip komunikasi dalam penerapan konteks kebudayaan akan lebih dapat dipahami dalam konteks perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial tertentu. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip terhadap suatu obyek sosial atau peristiwa. Masalah-masalah kecil yang timbul dalam komunikasi seringkali akibat dari perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi ini diakibatkan oleh derajat kesamaan dan ketidaksamaan yang dicapai dalam integrasi sosial antara komunikator dan komunikan.
HOMOFILY DAN HETEROFILY
Homofily adalah derajat atau tingkatan kesamaan dari pasangan sumber dan penerima pesan yang disebabakan oleh ciri-ciri atribut (unsur-unsur budaya) yang sama pada unsur-unsur budaya yang terdapat pada kepercayaan, pendidikan atau status sosial. Sedangkan heterofily adalah cerminan yang berlawanan dengan homofily adalah derajat ketidaksamaan dari pasangan sumber dan penerima pesan yang disebabkan oleh cirri-ciri atribut (unsur budaya)yang berbeda pada unsur-unsur budaya yang terdapat pada kepercayaan, pendidikan atau status sosial.
Menurut Aubrey Fisher (1996) dalam Rumondor (2003) homofily dan heterofily adalah salah satu aspek penerapan prinsip komunikasi dalam konteks antar budaya yang biasanya menjadi subyek kajian ilmuwan psikologi dan ilmuwan komunikasi. Sasaran kajiannya mengenai keterpaduan (cohesiveness) dalam interaksi antar pribadi dan klompok seperti derajat atau tingkat kepuasan, loyalitas kelompok kesetiakawanan atau solidaritas, dan sikap keterlibatan anggota kelompok. Konsep keterpaduan ini adalah cirri komunikasi yang menentukan dan mengembangkan serta memelihara keterpaduan yang tinggi. Prinsip homofily dan heterofily ini menyangkut masalah peranan komunikasi daam meningkatkan kecenderungan para anggota kelompok untuk melakukan pilihan dengan memperhitungkan resiko tercapai tidaknya keterpaduan dan keseimbangan dibandingkan jika dilakukan oleh perorangan.
Perspektif komunikasi tingkat derajat kesamaan (homofily) dan ketidaksamaan (heterofily) ini dimaksudkan agar mencapai komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif berhubungan dengan pertanyaan apakah pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference) dan kerangka pengalaman (frame of experience) komunikan.. Kerangka acuan ini meliputi : nilai-nilai budaya, agama, serta pendidikan yang yang pernah dialaminya. Jika kerangka acuan dan pengalaman ada kemiripan atau kesamaan, komunikasi akan berlangsung lancar dan efektif.Komunikasi dapat efektif disebabkan juga oleh adanya komunikasi yang persuasive. Komunikasi efektif apabila ada kecocokan rangsangan antara pengiriman dan penerimaan pesan.Prinsip penting dalam heterofily jika trimbul ketidaksamaan maka upaya yang dilakukan adalah menerobos agar ada kesamaan (homofily) dengan menggunakan kemampuan empatik.
Lebih lanjut kita pahami bahwa ketika kita berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol dengan orang lain dengan latarbelakang yang berbeda. Maka selanjutnya kita akan membahas komunikasi sebagai interaksi.
RELATIVITAS BAHASA
Bahwa setiap bahasa mempunyai ciri khas yang membedakannya dari bahasa yang lain. Ciri khas bahasa tersebut lahir akibat keragaman keadaan masyarakat dan budaya para penutur bahasa tersebut. Dengan kata lain, setiap masyarakat dan setiap budaya mempunyai bahasanya sendiri; yang cocok dengan keadaan lingkungan sosiokultural mereka. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk lebih gemar menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa asli atau bahasa ibu dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Akhirnya anggapan-anggapan negatif terhadap bahasa Indonesia yang dilontarkan para penggemar bahasa asing akan gugur dengan sendirinya. Tidak ada bahasa yang lebih unggul dari bahasa lain. Setiap bahasa mempunyai kedudukannya masing-masing, anggapan keunggulan suatu bahasa terhadap bahasa lain adalah sesuatu yang bersifat relatif tergantung penafsiran masing-masing orang. Penafsiran tersebut lahir akibat penilaian dan persepsi sempit seseorang terhadap suatu bahasa.
Mengubah pandangan masyarakat Indonesia tentang kedudukan bahasa Indonesia terhadap bahasa asing memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gambaran umum tentang keunggulan bahasa asing khususnya bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia telah terekam kuat di setiap otak masyarakat Indonesia sehingga secara tidak disadari kegemaran menggunakan bahasa asing menjadi suatu kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia. Mengubah suatu kebiasaan sangatlah tidak mudah dan membutuhkan kerja yang sangat keras. Pendekatan psikologis sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita harus mengubah penilaian dan persepsi sempit masyarakat Indonesia mengenai bahasa Indonesia. Kemudian menanamkan pemahaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa yang diabadikan melalui peristiwa bersejarah tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda. Melestarikan bahasa Indonesia sama artinya dengan menghargai perjuangan para pahlawan bangsa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Butuh kesungguhan dan komitmen kuat seluruh elemen bangsa Indonesia untuk membuat bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
BAHASA SEBAGAI CERMIN BUDAYA
Bahasa Indonesia telah diakui sebagai bahasa persatuan sejak jaman dulu, tepatnya ketika dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia telah melewati masa-masa dimana banyak sekali peristiwa sejarah yang merupakan fase perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, memerangi pemberontakan-pemberontakan, jaman orde baru, hingga sekarang. Seiring dengan adanya perubahan-perubahan kondisi tersebut, Bahasa Indonesia pun mengalami beberapa perubahan, baik dalam cara penulisan, pengucapan, penambahan dan pengurangan kosakata, perbaikan ejaan, dan lainnya, semua itu bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan penggunaan Bahasa Indonesia agar lebih baik. Sampai sekarang Bahasa Indonesia tetap indah untuk diucapkan, tetap indah didengar, tetap indah dibaca, tentu hal tersebut akan menjadi kenyataan kalau Bahasa Indonesia diucapkan dan ditulis dengan baik dan beretika.
Sastra Indonesia, yang merupakan karya hasil ungkapan perasaan, pikiran, emosi, yang dituangkan dengan bahasa baik lisan maupun tulisan juga mengalami banyak perkembangan, kita harus bangga karena hasil karya sastra bangsa Indonesia memiliki kualitas yang baik. Karya sastra menjadi tempat curahan hati, dimana bahasa yang ditumpahkan merupakan hasil penerjemahan dari ekspresi hati dan jiwa, pemikiran, kehendak dan lain-lain. Karena hal tersebut berhubungan erat dengan seni, budaya, dan keindahan, maka karya sastra memiliki nilai dan arti tersendiri. Sastra Indonesia harus dipertahankan kualitasnya sampai akhir hayat, karena dalam suatu karya sastra terdapat nilai-nilai emosi yang positif yang dapat memberikan makna petuah, nasehat, contoh, amanat, yang dapat memberikan pengaruh yang bermakna.
Untuk itu, Bahasa dan Sastra Indonesia harus tetap digunakan pada rel yang benar, agar perilaku generasi bangsa tidak semakin memburuk di masa depan. Hal ini penting, sebab bahasa merupakan sesuatu yang digunakan sehari-hari, apabila bahasa yang digunakan buruk, maka dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan perilaku buruk yang akan mempengaruhi kepada psikologi pribadi dan tata nilai di masyarakat. Jangan menganggap remeh bahasa yang digunakan sehari-hari, apakah itu Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, yang jelas norma-norma dan kaidah-kaidah berbahasa sangat kuat pengaruhnya bagi diri pribadi dan bagi orang lain. Sudah pasti Bahasa Indonesia yang berlaku saat ini merupakan bahasa yang baik, di dalamnya terdapat amanat agar bangsa kita menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan bijaksana, dengan sopan dan beretika, hanya orangnya saja yang menggunakan Bahasa Indonesia terkadang tidak beretika, misalnya dengan berkata kasar, mencaci-maki, mencela, berbicara jorok, dan lain-lain.
Kenyataan yang terjadi sekarang, bahasa dan sastra kita digunakan secara tidak benar oleh orang-orang tertentu. Orang yang berbicara kasar akan memberi pengaruh negatif kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain yang melihat dan mendengarnya. Akibatnya bisa fatal, apakah itu akan terjadi perkelahian, kerusuhan, pertikaian, bahkan pembunuhan. Inilah hebatnya bahasa, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa berkaitan erat dengan moral dan etika, untuk itu wajib bagi semua orang menggunakan bahasa yang baik di lingkungan masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan beretika, orang lain akan melihat kita baik juga, akan berpikir dan menganggap bahwa diri kita merupakan orang yang baik dan patut dihormati. Sebaliknya apabila kita menggunakan bahasa dengan salah, bahkan dengan kasar, orang lain pasti akan menganggap kita orang yang tidak baik dan sebagai balasannya kita tidak layak dihormati, bahkan ekstrimnya bisa dikira kita orang gila yang tidak beradab. Di kalangan remaja sering terjadi kesalahan dalam berbahasa, yaitu dengan menggunakan kata-kata baru yang menurut mereka sedang musimnya berbicara atau menulis dengan kata-kata baru tersebut, dulu sekitar 20 tahun yang lalu remaja sering membolak-balik kata saat berbicara atau menulis, kemudian berganti lagi dengan yang baru, yang dirintis oleh artis Debby Sahertian dengan kata “gaul” nya, saat ini muncul lagi gaya bahasa yang sangat aneh, apalagi dalam cara penulisannya. Walaupun gaya bahasa dari tiap generasi berbeda-beda datang dan pergi silih berganti, namun Bahasa dan Sastra Indonesia yang baku tetap ada, tidak hilang.
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan sesamanya. Bahasa menjadi alat utama dalam menjaga dan membina hubungan dengan sesama, bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting. Membina hubungan dengan relasi bisnis dibutuhkan keterampilan berbahasa yang baik, makna dasarnya adalah harus selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tidak berkonotasi negatif. Dengan itu saja dapat diyakini rekan bisnis akan semakin mempererat hubungan bisnis dengan kita, tentu saja hal tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Berbeda kalau misalnya kita tidak pandai menggunakan Bahasa Indonesia yang baik ketika melakukan komunikasi bisnis dengan relasi, hal tersebut akan membuat bisnis kita terganggu, yang akhirnya bisa merugikan perusahaan. Intinya adalah gunakanlah bahasa dengan baik, dengan beretika, karena bahasa merupakan cermin moral dan etika.
Dalam karya sastra, Bahasa Indonesia memiliki peran sebagai ujung tombak. Karya sastra yang tidak beretika dipastikan akan dikritik negatif oleh rakyat dan dilarang oleh pemerintah. Sastra Indonesia memiliki nilai sejarah yang tinggi, sejak Angkatan Pujangga Baru sampai sekarang, karya sastra kita memiliki kualitas tersendiri, dan hal itu harus dihargai dengan cara meneruskan perjuangan mereka dalam berkarya dengan menggunakan bahasa, seni yang bermoral dan beretika.
MENGURANGI KETIDAK PASTIAN
Teori pengurangan ketidakpastian merupakan salah satu teori komunikasi yang membahas mengenai strategi untuk mengurangi ketidakpastian kognitif dan perilaku dengan pencarian informasi melalui komunikasi dengan orang lain. Ketidakpastian kognitif merujuk kepada tingkat ketidakpastian yang dihubungan dengan keyakinan dan sikap tersebut. Ketidakpastian perilaku merujuk kepada tingkat ketidakpastian yang dihubungkan dengan perilaku.
Teori pengurangan ketidakpastian memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu:
1. Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal. Ketika berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya, seseorang cenderung tidak memiliki definisi yang akurat terhadap orang tersebut.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. Berdasarkan ketegangan dan ketidaknyamanan yang dialaminya, seseorang akan berusaha mencari informasi untuk mengurangi ketegangan yang ada.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas. Ketika bertemu dengan orang baru, seseorang akan membuat dugaan awal berdasar persepsinya. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Komunikasi interpersonal melalui komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih dapat terjadi secara tatap muka maupun melalui media.
4. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian.
5. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang lain akan berubah seiring berjalannya waktu.
6. Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.
Kelebihan dan Kekurangan Teori
Kelebihan teori ini adalah merupakan salah satu teori yang lintas bidang ilmu(heurisme), memiliki nilai konsistensi logis yang tinggi, dan dapat digunakan untuk kajian masa kini maupun masa depan. Sedangkan, kekurangannya teori ini diilai kurang memiliki kegunaan karena mengurangi ketidakpastian mengenai diri sendiri dan orang lain dalam sejumlah perjumpaan awal bukanlah tujuan utama, yang menjadi tujuan utamanya adalah memaksimalkan hasil suatu hubungan.
KESADARAN DIRI
Mengendalikan orang lain hanya menunjukkan sebagian kebaikan karakter kita. Lao Tsu, filsuf Cina, pernah mengatakan, ”Menundukkan orang lain membutuhkan tenaga. Menundukkan diri kita sendiri membutuhkan kekuatan.” Ternyata lebih mudah bagi kita untuk menundukkan orang lain daripada menundukkan diri sendiri. Seperti kita ketahui bahwa salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti kita memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat kita dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi kita. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, kita dapat mengendalikan emosi dan perasaan kita.
Namun seringkali kita ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan diri kita. Oleh karena itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, kita harus senantiasa membuka kesadaran diri kita melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi.
MENGAPA KITA PERLU MENINGKATKAN KESADARAN DIRI ?
1. Musuh Terbesar Kita Adalah Diri Sendiri
Banyak hal yang dapat membuat kita lengah dan kurang waspada. Terjebak dalam rutinitas, berada di zona nyaman atau sikap yang terlalu bergantung pada orang lain. Hal itu membuat kita tidak siap menghadapi situasi darurat atau perubahan yang mendadak. Sebaliknya, sikap ambisi tak terkendali juga bisa membuat lupa diri dan berakibat fatal.
2. Situasi Di Sekitar Kita Berubah Setiap Saat
Kehidupan kita bagaikan orbit alam semesta. Ketika bumi berputar pada porosnya, ia juga beredar mengelilingi matahari. Hidup kita berubah, situasi di sekitar juga berubah. Hidup adalah perubahan dan hidup adalah perjuangan. Perubahan selalu membawa dinamika dan perjuangan selalu membutuhkan kewaspadaan. Perubahan bisa menjadi sebuah kemajuan, jika diwaspadai dan disikapi dengan positif. Tapi perubahan akan menjadi musuh dan penghambat bagi kita yang tidak pernah mengantisipasi dan mewaspadainya.
3. Kesadaran Diri Membangun Rasa Tanggung Jawab
Kesadaran diri berarti mengetahui dengan tepat apa yang sedang kita alami. Kesadaran diri menimbulkan respons dan sikap antisipasi. Sehingga kita mempersiapkan diri dengan baik menghadapi situasi yang sedang dan yang akan terjadi. Kesadaran diri secara positif membangun sikap tanggung jawab dalam diri kita. Hanya seorang yang bersedia mengambil tanggung jawablah yang mampu memenangkan peperangan.
BAGAIMANA CARA MENINGKATKAN KESADARAN DIRI ?
1. Mengenali kekuatan dan kelemahan pribadi.
2. Melatih kepekaan untuk memahami situasi.
3. Belajar berkonsentrasi dan bersikap fokus.
4. Selalu mengevaluasi diri dan kondisi di sekitar kita.
5. Memiliki nilai-nilai pribadi sebagai tolak ukur kehidupan.
Melalui pengendalian emosi, penguasaan diri dan kedisiplinan kita dapat lebih memahami diri kita dan bagaimana cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam diri kita sehingga kita menjadi manusia yang lebih cerdas secara spiritual. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jika kita tidak melakukan sesuatu. Kita harus melakukan sesuatu untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan berkualitas, karena hanya kita sendiri yang dapat mengubah kehidupan kita.
INTERAKSI AWAL
Interaksi awal manusia terjadi melalui sentuhan, ketika lahir merespon
rangsangan fisik yang dirasakan oleh kulit sebagai indra perasa yang aktif. Sentuhan alamiah pada bayi sesungguhnya sama artinya dengan tindakan mengurut atau memijat, kalau tindakan ini dilakukan secara teratur dan sesuai dengan tata cara dan teknik pemijatan bayi, bisa menjadi terapi untuk mendapatkan banyak manfaat buat si bayi. Pemijatan ini tidak perlu di lakukan oleh dukun pijat bayi sebab pemijatan dapat dilakukan oleh ibu bayi. Banyak penelitian menunjukan, penerapan dari terapi sentuhan yang di wujudkan dalam bentuk pemijatan bayi memberikan manfaat sangat besar pada perkembangan bayi, baik secara fisik maupun emosional (Luize, 2006). Pijat akan merangsang peningkatan aktivitas nervus yang akan menyebabkan penyerapan lebih baik sehingga bayi akan cepat lapar dan bayi akan lebih sering menyusu pada ibunya, akibatnya ASI akan lebih banyak diproduksi (Utami Roesli, 2001). Terapi pemijatan dapat mengurangi kegelisahan dan hormon stress pada bayi yang baru lahir. Pemijatan bayi yang baru lahir memacu kepercayaan diri dengan baik untuk pertumbuhan otak, serta memperbaiki pencernaan dan perilaku. Ketika terapi pemijatan tersebut diberikan oleh ibu bayi, pemijatan tersebut juga membuat yang memijat (ibu bayi) merasa lebih baik atau nyaman sama seperti pada bayi yang dipijatnya, sekaligus member pengobatan yang efektif dan berharga.
MEMAKSIAMALKAN HASIL INTERAKSI

Semenjak manusia dilahirkan akan tumbuh dan berkembang dengan melalui interaksi sosial yang mereka kembangkan. Oleh sebab itu banyak ahli sosiologi mengatakan bahwa inti proses sosial ada pada interaksi sosial. Pada saat itu pula secara berangsur-angsur mulai tumbuh pengenalan akan norma. Norma tersebut antara lain adalah norma sosial, norma keluarga, norma agama (Judistira Ghrama, 1991:4). Norma-norma tadi sebenarnya dapat digeneralisasikan hampir sama pada setiap masyarakat manusia. Hanya yang membedakan adalah nilai-nilai yang melekat.Pada norma tersebut (Soedjatmoko, 1973:30). Pokok utama pengenalan norma tadi kebanyakan melalui inteaksi sosial. Sebagao contoh kongkrit tentang norma; seseorang dapat dikategorikan berhasil dalam pendidikan formal apabila telah memenuhi tuntutan norma yang melekat. Norma tersebut antara lain lulus ujian pada tingkat tertentu, atau pada jenjang pendidikkan tertentu yang dituntutnya. Norma ini juga akan mengiring seseorang pada tataran/jenjang tertentu dalam proses pendidikan.Norma pendidikan serupa ini ditegaskan oleh Harahap (1979:17) bahwa norma itu merupakan kriteria atau ukuran tentang sesuatu untuk menentukan sesuatu itu buruk, baik, gagal atau berhasil. Kaitannya dengan dengan tugas guru, berarti guru yang juga bertugas memberikan penilaian, ini berarti juga menerapkan norma pada sesuatu. Sesuatu tadi diantarnya proses hasil belajar. uraian tersebut jika didefenisikan secara padat itulah disebut prestasi belajar. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah komponen Belajar-Mengajar dengan diri siswa. Kemudian dihubungkan dengan norma tertentu yang distandardisir serta terukur.
Adapun yang termasuk dalam komponen Belajar-Mengajar dari pihak guru ialah, intensitas guru memberikan pelajaran, cara atau metoda mengajar, bimbingan yang diberikan guru sehingga terjadi proses pemahaman dalam belajar. Surahmad (1973:162) lebih jauh menjelaskan bahwa pemahaman belajar itu akan terbentuk apabila:
(1) belajar terjadi dalam kondisi yang berarti secara individual !
(2) adanya interaksi sosial yang intens antara guru dengan murid!
(3) hasil pelajaran adalah kebulatan tingkah laku,
(4) siswa menghadapi secara pribadi,
(5) belajar adalah mengalami.
Berkaitan dengan point dua di atas maka keputusan pemerintah untuk mengembangkan konsep kokurikuler dalam kegiatan Proses Belajar-Mengajar adalah suatu yang tepat. Sebab interaksi sosial paling dimungkinkan dalam rangka pengembangan tugas-tugas kokurikuler. Adapun pengertian kokurikuler sendiri diartikan sebagai kegiatan diluar jam pelajaran biasa yang bertujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati apa yang dipelajarinya pada kegiatan intrakurikuler baik program inti maupun program khusus (Team Penyusun Instruksional Dirjen Dikdasmen, 1985:1). Dengan kegiatan kokurikuler ini akan terjalin interaksi sosial antara guru dan murid, sehingga terbentuklah suasana belajar yang kondusif.
Lebih lanjut dalam petunjuk teknis dijelaskan bahwa kegiatan kokurikuler hendaknya dilaksanakan secara perorangan atau kelompok berupa penugasan yang menjadi pemasangan penugasan tatap muka. Oleh sebab peran interaksi sosial antara guru dengan murid untuk mengembangkan tugas-tugas kokurikuler menjadi begitu penting. Ini dapat dilihat dari porsi waktu yang diberikan untuk kegiatan kokurikuler, seperti yang tertuang dalam Juknis Dikdasmen (1985:3) bahwa banyaknya waktu kegiatan kokurikuler adalah stengah kali kegiatan tatap muka perminggu. Jika guru mampu memanfaatkan pola-pola hubungan interksional dengan muridnya melalui media kokurikuler ini, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini muncul karena murid mengalami sendiri peran bimbingan guru. Kewibawaan sendiri dalam proses belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan.
Interaksi Sosial
Peluang seperti ini jika dilihat secara mendalam dengan menggunakan kacamata teori fiducary yang dikemukakan oleh Tallcot Parsons (1978:12), ternyata bahwa medan interaksi sosial dapat membangun kedekatan jarak ini akan membuahkan tingkat keintiman antara pelaku sosial. Dengan keadaan demikian ini berakibat pada sikap saling terbuka untuk saling memahami, saling menghayati antara satu dengan yang lain. Munculnya pemahaman ini karena munculnya empaty antara guru dengan muridnya. Empaty yang dikemukankan mampu merasakan yang orang lain rasakan, adalah suatu tataran tingkat tinggi dari proses sosial melalui interaksi sosial.
lebih jauh teori fiducary menggambar bahwa pada saat orang berinteraksi jika digambarkan akan diperoleh gambaran sebagai berikut :
Individu A berinteraksi dengan individu B akan membentuk bangun medan fiducary (C). Semakin inten pergaulan antara A dan B akan semakin melebar medan fiducary. Walaupun tidak mungkin secara signifikan penuh membentuk medan tersebut.
Pada medan fiducary itu dinamika interaksi sosial berlangsung. Oleh sebab itu Soekamto (1990:67) mengatakan proses sosial. Lebih lanjut dijelaskan muatan yang ada dalam medan fiducary ini ialah adanya proses imitasi, sugesti, identifikasi, simpati. Muatan tersebut bisa berjalan sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Asalkan dua syarat harus dipenuhi yaitu, (1) adanya kontak sosial yang terus menerus dan, (2) ada komunikasi yang terus menerus. Kegiatan belajar-Mengajar antara guru dengan siswanya merupakan salah satu bentuk kontak sosial yang terus menerus. Kontak sosial ini akan terus terbangun jika komunikasi yang mereka kembangkan juga akan berlangsung secara terus menerus. Kontak sosial yang hanya dibangun pada saat kegiatan kurikuler, belum begitu cukup untuk membentuk medan fiducary yang bermakna dalam pendidikan. Melalui kegiatan kokurikuler, diharapkan akan menambah frekuensi dan makna interaksi sosial, sehingga proses pendidikan untuk menuju kekedewasaan yang mandiri akan segera tercapai.
Pembahasan
Seperti telah disinggung bahwa proses pendidikan berlangsung bahwa proses pendidikan berlangsung atas dasar proses kontak sosial yang berjalan terus menerus juga komunikasi yang terus menerus. Pada proses ini berlangsung transfer ilmu pengetahuan, perilaku, dan sikap sosial. Wujud nyatanya secara sosiologis dapat berawal dari simpati sugesti, identifikasi dan imitasi.Pendidikan formal yang berlangsung secara non formal melalui kegiatan kokurikuler, akan mempermudah terbentuknya kontak sosial yang menciptakan medan fiducary, dengan seluruh muatannya. Akibat lanjut proses pendidikan akan berjalan menjadi akan berjalan menjadi begitu alami. Keadaan ini akan menjadi semakin baik lagi manakala guru tetap pada koridor gezah. Oleh Langeveld (Mustopa, Achyat, 1978:12) di jelaskan bahwa gezah-lah yang membedakan pergaulan biasa dengan pergaulan pendidikan pergaulan yang bermuatan gezah ini pergaulan yang penuh tanggung jawab antara guru dan murid. Prosesnya penuh dengan muatan pembentukan watak dan kepribadian.Kepatuhan murid terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena keprofesionalan guru. Hubungan keprofesionalan ini begitu kental manakala guru mampu menunjukkan dan membimbing muridnya kepada langkah-langkah pendidikan yang telah diprogramkan. Sekaligus dalam hal ini guru menjadi pengasuh agar murid mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perjalanan kodrat manusianya.Hubungan sosial demikian sangat diperlukan pada dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola keseimbangan dimaksud adalah pola hubungan timbal balik yang berlaku dua arah, dalam arti pada posisi tertentu murid dapat bermitra dengan gurunya. Kemitraan dimaksud dalam rangka proses pendidikan. Kemitraan guru dan murid ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan kokurikuler.Hasil penelitian yang dilakukan khusus mengenai kegiatan kokurikuler pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SLTP (Sudjarwo, 1993), menunjukan bahwa siswa yang memiliki frekuensi tinggi berhubungan dengan gurunya, memiliki kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial dengan guru akan mengakibatkan berpeluang besar untuk membesarkan medan fiducary.
Atas dasar itu, maka proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi. Termasuk dalam proses ini meliputi antara lain:
a. Kerjasama
Kerjasama yang diberi makna oleh Soekamto (1990:79) sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Kondisi ini jika dilihat di dunia pendidikan,maka kegiatan kokurikuler merupakan media untuk membangun hubungan kerja sama antara guru dengan murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
b. Akomodasi.
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti ( Soekamto,1990:82 ) yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan, dan menunjukan pada suatu proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku interaksi dengan nilai-nilai sosial atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses menunjukan pada usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan sutu pertentangan karena ketidak sepahaman,guna mencapai suatu kestabilan. Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses. Melalui kegiatan kokurikuler diharapkan terbentuk saling pengertian antar guru dengan murid sesuai dengan posisi masing-masig.Pertentangan karena ketidak tahuan keadaan diri pada masing-masing pelaku interaksi. Dapat terjembatani oleh karena adanya kegiatan kokurikuler antara guru dengan murid.
Dengan demikian kegiatan kokurikuler sbenarnya memiliki nilai positif jika dilihat dari aspek proses Belajar- Mengajar.Karena mendudukan guru dan murid pada gari sejajar.
Maksudnya adalah proses belajar-mengajar adalah proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan nak didik sehingga terjadi proses belajar.Proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan murid adalah pekerjaan pendidikan yang cukup sulit.Guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangkamempilah,lingkungan yang bagaimana yang harus diciptakan sehingga kemudian akan menjadikan proses pendidikan berlangsung.Proses penciptaan lingkungan sendiri sudah harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali.Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan murid sehingga terjadi proses sosialisasi nilai.Proses sosialisasi nilai-nilai edukatif akan sangat besar peluangnya untuk terjadi jika dilaksanakan dengan pola kokurikuler.Oleh sebab itu kegiatan kokurikuler sangat menunjang untuk dapat menjadikan program pengairan diterima oleh murid. Dengan demikian itu wujud pengorganisiran lingkungan menjadi bermakna secarasosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambi oleh siswa.Manfaat tersebut untukjangka panjang akan membawa murid mencapai kedewasaan yang mandiri. KesimpulanKegiatan kokurikuler yang dikembangkan untuk proses belajar, adalah suatu yang sangat tepat jika diterapkan secara terprogram. Aktivitas kokurikuler akan berhasil dengan baik manakal guru mampu memprogram kegiatan kokurikuler dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimilikioleh siswa. Potensi tersebut meliputi; keinginan untuk berhubungan dengan orang lain,mengaktualisasikan dirinya dengan dunia ,melalui bimbingan guru.
Dengan melaksanakan kegiatan kokurikuler tersebut pekerjaan guru menjadi semakin berat.Diakui bahwa mendesain kegiatan kokurikuler memerlukanpelatihan dan kesiapan yang tidak mudah. Namun demikian jika sistem ini diterapkan sekalipun minimal, maka akan dapat dirasakan dampaknya terhadap kemajuan belajar para murid.



ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق

BACA DAN PAHAMI