2/28/2013


jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Terbit tiga kali setahun pacla bulan Maret, Juli dan Novernber. Berisi tulisan yang
diangkat dari l'rasil penelitian, kajian analitis kritis dan tinjauan buku dalam bidan[
sosial dan politik. ISSN 74'10-4946
Pelindung:
Dekan Fisipol UGM
Ketua Penyunting
Purwo Santoso
Wakil Ketua Penyunting
i Gusti Ngurah Putra
Penyunting Pelaksana:
Abdul Gaffar Karirn
Arie Sujito
Riza Noer Arfani
S. Djuni Prihatin
Subando Agus lvlargono
Penyunting Ahli
Moeljarto Tjokrowinoto
Ichlasul Arnal
Sofian Effendi
lr4uharnmad Anrien Rais
Jahja N4uhaimin
Afan Gaffar
Nasikun
It4oharnmad Mohtar lvlas'oed
Bambang Setiawan
Ashadi Siregar
Susetiar,r'an
Risrvandha Imanran
Sugiono
Pelaksana Tata Usaha:
Novi Kurnia, Subari, Mukhrobin
Alamat Penyunling danTata Usaha:Fakultas Ihnu Sosial dan Ilmu Politik, U^iversitas
Gadjalrlr4ada,JI.Sosio-Justisia,Bulaksurnur,Yogyakarta5528l. Telp./Fax:0274-563262,
*maii: jsp@isipol.ugm.ac.id
P,en1rq11ing menerima fulisan yang belum pernah diterbitkan dalam rneclia lai..
Naskah diketik diatas kertas HVS kuarto sekitar 3000-5000 kata dengan forrnat seperti
tercantum pada halarnan kulit belakang (Persyaratan naskah untukisn;. Nurtah akan di'review' oleh penyunting ahli. Hasifreview bisa diketahui clalam jangkawaktu 60 hari setelah naskah diterirna.
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN '1,4104946
Volume 4, Nomor 2, Nopember 2000
DAFTAR ISI
Absennya Kajian Ekonomi Politik Media di Indonesia
Agu" Sudibyo 115-134
Ke Arah Studi "Etno-Media"
Akhmad Zaini Abar 135-150
Media Massa dan Globalisasi Produk Simbolik
Pitra Narendra 151'-1'69
Media Pers dan Negara: Keluar dari Hegemoni
Ashadi Siregar 171'-196
Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar
dalam Era Reformasi
Hermin Indah Wahyuni 797-220
Kebebasan Pers Pasca Orde Baru
Susilastuti D. N. 221"241'
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1,410-4946
Volume 4, Nomor 2, Nopember 2000 (115-134)
ABSENNYA PENDEKATAN EKONOMI POLITIK
UNTUK STUDI MEDIA
Agus Sudibyo
Abstract
The rapid and deep changing of the media requires new
approach in media studies in Indonesia. The cutently
predominating positivism is inadequate. The article advocates
the use of a critical political economy as an altemative approach
to study media in Indonesia.
Kata-kata kunci: studi media, pendekatan ekonomi politik
Media massa, terbukti menjadi faktor yang sangat determinan
dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia. Sejak dari jaman
kolonial hingga jaman pasca Orde Baru saat ini, media memainkan
peranan yang sangat penting dalam pergeseran-Pergeseran sosiaipolitik
yang terjadi. Namun, hingga saat ini masih sangat terasa betapa
minimnya studi atau penelitian tentang media di Indonesia. Berbagai
pihak mengeluhkan sedikitnya buku, monograft, makalah dan literatur
lain yang menjelaskan perilaku, kecenderungan, Peranan dan
karakteristik media.
Dari yang sedikit ini pun, jugu tidak selalu dapat menjelaskan
dinamika yang terjadi dalam tubuh pers dari waktu ke waktu secara
menyeluruh. Penelitian media di Indonesia sejauh ini hanya terpola
pada pendekatan empiris-positivistik, terutama sekali yang bertumpu
pada metodologi analisis isi kuantitatif untuk membedah teks media.
Persoalarmya bukanlah karena pendekatan atau metodolos ini sudah
Ag.s Sudibyo Penulis adalah Peneliti ISAI (Institut Studi Arus Informasi) Jakarta, anggota
redaksi majalah Pantau, dan menulis buku Politik Media dan Pertarungan Wacana.
115
/umal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 4 No Z November 2000
udzurdan tak berguna lug,namun lebih karena tidak semua fenomena
media mutakhir dapat dijelaskan dengan pendekatan itu. Dinamika
kehidupan media dan pertautarrnya dengan kekuatan-kekuatan di luar
dirinya bergerak begitu cepat, dan ini membutuhkan hadirnya
pendekatan-pendekatan alternatif studi media. Fungsi pendekatan
alternatif ini bukanlah untuk menggusur pendekatan positivistikempiris,
namun untuk saling melengkapinya. Dalam kompleksitas
problem media yang tercipta belakan gan, kita dapat mengatakan bahwa
ada fenomena atau realitas yang lebih tepat didekati dengan pendekatan
emp iris-p o sitivistik, namun sebalikny a, ada f enomena a tau re alitas y au.:rg
lebih tepat untuk didekati dengan pendekatan yang lain.
Tulisan ini membahas sebuah pendekatan yang selama ini jarang
digunakan untuk menganalisis perilaku media di Indonesia, yaitu
pendekatan kritis ekonomi-politik media. Setelah jatuhnya rejim Orde
Baru, ada banyak realitas dan fenomena media yang justru lebih
bermakna jika dijelaskan dengan pendekatan ekonomi politik ini.
Terutama sekali realitas dan fenomena yang menunjukkan tarikmenarik
yang dinamis antara kepentingan politik atau kepentingan
modal dengan unsur-unsur di dalam media. Penyebarluasan gagasan
tentang pendekatan ekonomi politik media ini, tentu sija membutuhkan
instrumen. Tulisan ini mungkin dapat menjadi pancingan untuk diskusi
lebih lanjut yang lebih produktif
Antara Yang Empiris dan Yang Kritis
Dalam kurun waktu yang lama,. studi ekonomi politik media
yang bercorak kritis (critical political economy of media), absen dalam
penelitian media di Indonesia. Sebagian besar, atau bahkan hampir
semua, studi tentang media yang ada sejauh ini didasarkan pada
pendekatan yang bertipe empiris-positivistik. Jarang seka-li ada
penelitiu., yu.,g menggunakan p.r,autatan Ueitipe
"kritis.2
Tipe
t Titl"rrun umum tentang pendekatan empiris dan pendekatan kritis dalam studi media lihat
misalnya dalam Everett M. Rogers, (1982), 'The Empirical and the Critical School of Conmunication
Research.'dalam Michael Burgoon (ed), Communication Yearbook, Vol. 5, London,
Transaction Books, hal. 125-143; Mengenai perkembangan studi kritis dalam media
lihat Everett M. Rogers, (1994), A History of Communication Study: A Biographical Approach,
New York, The Free Press, terutama hal.702- 725
l16
Agus Sudibyo Absennya Pendekatan Ekonomi politik...
penelitian empiris, umumnya ditandai dengan pendekatan yang
bercorak kuantifikasi, menggunakan teknik sampling, dan
mengedepankan generalisasi. Ciri yang lain adalah penelitian empiris
terutama sekali dilakukan untuk menjelaskan dan menggambarkan
fenomena media. Bentuk penelitian empiris ini ada bermacam-macam.
Dalam studi analisis isi, dikenal luas pemakaian analisis isi
kuantitatif. Dalam studi institusi media, dikenal misalnya penelitian
deskriptif untuk menggambarkan pola dan struktur organisasi.
Sementara dalam penelitian efek media, banyak diterapkan studi
mengenai efek media terhadap khalayak. Dengan pendekatan empiris,
studi analisis isi akan mencoba melihat apakah sebuah media telah
menampilkan liputan yangobyektif, netral, dua sisi dan tidak berpihak.
Dengan kata lain, pendekatan empiris berasumsi bahwa obyektivitas,
netralitas, ketidakberpihakan adalah suatu keniscayaan.
Hal ini mendapat kritik dari pendekatan kritis. Pendekatan kritis
terhadap studi media dipengaruhi gagasan-gagasan Marxis yang
melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat
sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian
dari sistem dominasi tersebut. Kalau pendekatan empiris cenderung
meyakini bahwa kelompok-kelompok masyarakat dapat secara bebas
bertarung dalam ruang yang terbuka, maka pendekatan kritis meiihat
masyarakat didominasi kelompok elit. Dalam hal ini, media adalah alat
kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan
kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.
Kalau pendekatan empiris percaya bahwa profesionalisme, sistem kerja,
dan pembagian kerja dalam sebuah media dapat menciptakan
kebenarannya sendiri, maka pendekatan kritis menolaknya. Wartawan
yang bekerja daiam suatu sistem produksi berita tidaklah otonom,
bukan pula bagian dari suatu sistem yang stabil, tetapi merupakan
obyek dari praktek ketidakseimbangan dan dominasi. Pada titik inilah
pendekatan krihis kemudian memperkenalkan dan mengamPanyekan
studi ekonomi-politik terhadap media.
Ada perbedaan lain antara pendekatan empiris dan pendekatan
kritis. Dalam penelitian empiris, individu dipandang saling berkaitan
dan akan mencapai keseimbangan. Peran penyeimbang ini diandaikan
dapat diambil oleh media. Sebaliknya dalam tipe penelitian kritis,
persoalan utamanya adalah media bukan berada dalam posisi
rt7
/urnal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 4, No Z November 2000
penyeimb arrg, sebab media dikuasai oleh kekuatan dan kelompok
tertentu. Pertanyaannya adalah, siapa yang mengontrol media dan
mengap a? Apa keuntungan yang didapat dengan mengontrol media?
Strategi apa yang digunakan untuk mengontrol media?
Penelitian yang bercorak kritis sangat peka terhadap praktek
dominasi. Tindakan berkomunikasi dan menggunakan media dilihat
sebagai sesuafu yang bertujuan, dan bukuu:r semata-mata kegiatan netral
untuk menyampaikan pesan kepada publik. Taruhlah dalam penelitian
tentang komik Jepang. Dengan menggunakan pendekatan empiris,
penelitian terutama untuk melihat apa isi komik jepang, bagaimana
tokoh-tokohnya, karakternya dan sebagainya. Isi komik dipandang
sebagai sesuatu yang netral, "bebas" nilai.
Sebaliknya, dalam pendekatan kritis, komik dipandang sebagai
sesuatu yangbertujuan. Ada maksud terselubung di balik komik yang
diproduksi dengan styleatau karakter tertentu. Pendekatan kritis akan
menunjukkan, misalny a saja, bagaimana melalui komik, Jepang
berusaha mendominasi pendekatan khalayak pembacanya. Lewat
komik, dipropagandakan gayahidup, nilai dan norma nusyarakat yang
harus diterima oleh publik pembaca. Dalam ha1 ini, pendekatan kritis
senantiasa meniscayakan adanya dua pihak dengan posisi yang tidak
seimbang. Di satu sisi, ada pihak yang kuat dan mendominasi, di sisi
lain ada pihak yang lemah dan terdominasi. Dominasi ini dapat
berdimensi politik, ekonorni maupun dimensi yang lain.
Studi-studi dengan pendekatan kritis semacam inilah yang
jarang dilakukan dalam khasanah studi media di Indonesia. Mengapa
hal ini bisa terjadi? Ada beragam kemungkinan penyebab. Terutama
sekali adalah karena dalam kurun waktu la.ma, pendekatan dalam studi
komunikasi di Indonesia memang mengarah pada "mashab"
developmentalisme. Ini tidak bisa dilepaskan dari ideologi politik yang
dominan selama Orde Baru. Kreativitas mereka yang bergelut dalam
dunia komunikasi terbelenggu ketika ranah komunikasi temyata hanya
dimaksudkan sebagai salah satu sekrup dari "mesin besar"
pembangunan. Bidang-bidang komunikasi yang dikembangkan,
karenanya hanya diambil bidang yang dipandang berguna untuk
pembangunan. Demikian juga dengan studi-studi komunikasi yang
digalakkan dan didukung secara kelembagaan. Da1am hal ini, studistudi
empiris-positivis tik lebih mendap atkan temp a t.
118
Agas Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik ...
Sebaliknya studi-studi kritis, yang cenderung mempertanyakan
kemapanan dan mengkritik kekuasaan, bukan hanya tidak
mendapatkan dukungan, namun juga dibatasi perkembangannya.
Misalnya saja studi mengenai institusi media, sungguh jarang
ditemukan selama Orde Baru. Dalam kurun waktu lama, yang banyak
berkembang adalah penelitian mengenai aspek profesional, pola kerja,
struktur organisasi, serta aliran tanggung-jawab dalam sebuah
perusahaan media.
Demikian jr'tgu dengan studi yang mempertanyakan
kepemilikan media, efek kepemilikan terhadap pemberitaan media,
hubungan pemodal dengan awak media, pemodal dengan pemerintah
tidak banyak mendapatkan tempat. Penelitian jenis ini sangat mungkin
dipandang dapat menggoyahkan kemapanan rejim. Selama Orde Baru,
penelitian yang bercorak kritis dapat dengan mudahnya dicurigai
sebagai kiri dan tidak sesuai untuk diajarkan di Indonesia. Ini itgu
berpengaruh dalam sistem pengajaran ilmu komunikasi di kampuskampus.
Lrfrastruktur pengajaran studi-studi media yang bercorak kritis
tidak memadai, atau hampir-hampir tidak berkembang sama sekali.
Tidak terdapat cukup buku, tulisan dan referensi lain tentang studi kritis
media yang memadai. Lebih dari itu, para pengajar bidang studi ilmu
Komunikasi jrrgu banyak yang tidak familiardengan pendekatan kritis
dan literatur-literaturnya. Mereka yang mendapatkan bea-siswa ke luar
negeri, umulru:Iya juga kuliah di universitas yang bertradisi empirispositivistik.
Pendekatan dalam Studi Media
Sebelum masuk dalam pembahasan tentang pendekatan kritis
ekonomi-politik media, ada baiknya dipetakan dulu pendekatanpendekatan
dalam studi media. Sejauh ini, paling tidak ada tiga
pendekatan utama untuk menjelaskan media.=
t
Lihut Brian McNair, (L994), News ancl Journalism in the t-/K: A Tbxtbook,London and New
York, Routledge, terutama hal. 39-58. Lihat juga James Curran, Michael Gurevitch, dan Janet
Woollacott, (1,98n, 'The Sludy of the Media: Theoretical Approaches'dalam Oliver Boyd
Barret dan Peter Braham (ed), Media, Knowledge, and Power, London, Croom Helm, hal.
63-70
r19
Jumal IImu Sosial & IImu Politik Vol. 4, No 2, November 2000
Perta m a, p endekatan p olitik-ekonomi (7h e p oI i ti ca I - ec o n o my
aPProaci). Menurut pendekatan ini, isi media ditentukan oleh
kekuatan-kekuatan ekonomi dan potitik di luar media. Faktor seperti
pemilik media, modal, iklan, regulasi pemerintah lebih menentukan
bagaimana isi media. Penentuan di sini bisa mencakup peristiwa apa
saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, atau ke
arah mana kecenderungan pemberitaan itu hendak diarahkan. Dalam
pendekatan ini, mekanisme produksi berita dilihat tidak ubahnya
seperti relasi ekonomi dalam struktur produksi sebuah perusahaan
bisnis. Poia dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan
ekonomi yang secara dominan menguasai perusahaan media. Mengapa
media memberitakan dengan cara seperti ini? Mengapa media hanya
mewadahi suara pihak tertentu? lawabannya dicari dengan melihat
kepentingan ekonomi, kepemilikan media, atau kepentingan politik di
balik sebuah media.=
Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches).
Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik.
Dalam pendekatan ekonomi politik, media diasumsikan dipengaruhi
kekuatan-kekuatan eksternal yang ada di luar diri pengelola media.
Pengelola media dipandang bukan sebagai entitas yang aktif, sebaliknya
pekerjaan mereka dibatasi oleh berbagai stmktur yang mau tidak mau
memaksanya unfuk katakanlah memberitakan dengan cara tertentu.
Pengelola media dipandang tidak bisa mengekspresikan pendekatan
pribadinya. Sebaliknya, kekuatan eksternal di luar diri medialah yang
menentukan apa yang seharusnya dikerjakan dan diberitakan.
Pendekatan organisasi justru -"iihut pengelola media sebagai
pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam
pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada
t
Pendekatan ekonomi politik menolak asumsi teori gatekeeper. Dalam teori ini, proses
produksi berita tidak lebih sebagai proses seleksi/penjaga gerbang: dari wartawan ke
redaktur ke editor dan turun sebagai lapiran berita. Memang benar, mekanisme produksi
berita penuh dengan proses seleksi semacam ini. Akan tetapi proses penyaringan din seleksi
ini tidak berlangsung dalam ruang hampa seperti layaknya dalam pendekatan gatekeeper.
Penyaringan itu terjadi justm dengan memperhihrngkan kekuatan-kekuatan ekonomi politik.
Herman dan Chomsky (1988), misalnya menawarkan pendekatan yang mereka sebut sebagai
model propaganda. Dalam model mereka, media dilihat sebagai ugen yang
memProgandakan nilai-nilia tertentu untuk didesakkan kepada publik. Dalam model
mereka, memang ada penyaring, tetapi penyaringan ini mereprisentasikan kekuatan
ekonomi politik yang ada dalam masyarakat.
t20
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik...
dalam ruang redaksi. Praktek kerja, profesionalisme dan tata aturan
yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur-unsur dinamik yartg
mempengaruhi pemberitaan. Mengapa media memberitakan kasus A,
mengapa kasus A diberitakan dengan cara tertentu, penjelasannya
dilihat berdasarkan mekanisme yang terjadi dalam ruang redaksi.
Mekanisme itu misalnya dalam hal penentuan nilai-nilai berita. Dalam
hal ini, sebuah peristiwa diberitakan karena mempunyai nilai berita
tertentu. Atau tokoh politik tertentu dikutip bukan karena mempunyai
motivasi ekonomi dan politik, tetapi karena ia mempunyai nilai berita
yang tinggi: artis, pejabat atau tokoh politik ternama lainnya. Dengan
kata lain, proses produksi berita adalah mekanisme keredaksian, dimana
setiap organisasi berita mempunyai pola dan mekanisme tersendiri
untuk memberitakan suatu peristiwa. Mekanisme itu bersifat internal,
bukan ditentukan oleh kekuatan di luar diri media. Media dianggap
otonom dalam menentukan apa yang boleh, apa yang baik, apa yang
layak dan tidak layak diberitakan.
Ketiga, pendekatan kulturalis (Culturalist Approach).
Pendekatan ini jrgu dikenal sebagai cultural studies, dan merupakan
gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan
organisasi. Proses produksi berita dalam pendekatan kulturalis dilihat
sebagai mekanisme yang rumit dan melibatkan faktor internal media
(rutinitas organisasi) juga faktor eksternal di luar diri media. Mekanisme
yang rumit itu ditunjukkan dengan melihat bagaimana perdebatan yang,
terjadi dalam ruang redaksi. Media pada dasarnya memang mempunyai
mekanisme untuk menentukan pola dan aturan organisasi, tetapi
berbagai pola yang dipakai untuk memaknai peristiwa tersebut tidak
dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan ekonomi politik di luar diri
t
m edla.
Varian Pendekatan Ekonomi Politik Media
Pendekatan ekonomi politik pada dasarnya mengaitkan aspek
ekonomi (seperti kepemilikan dan pengendalian media), keterkaitan
kepemimpinan dan faktor-faktor lain yang menyatukan industri media
t
Lihut misalnya dalam Brian McNait (1995), An Introduction to Political Communication,
London dan New York, Routledge, hal.56-60
t21
Jumal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 4, No 2, November 2000
dengan industri lainnya, serta dengan elit politik, ekonomi dan sosial.
Atau dalam bahasa El1iot, studi ekonomi politik media melihat bahwa
isi dan maksud-maksud yang terkandung dalam pesan-pesan media
ditentukan oleh dasar ekonomi dari organisasi media yang
menghasilkannya. Organisasi media komersial harus memahami
kebutuhan para pengiklan dan harus menghasilkan produk yang
sanggup meraih pemirsa terbanyak.
Se dangkan ins titu s i-institus i me dia yang dikend alikan ins tihrsi
potitik dominan atau oleh pemerintah, harus senantiasa mengacu
kepada inti dari konsensus umum.= Menurut Golding dan Murdock,
pendekatan ekonomi politik mempunyai tiga karakteristik penting.
Pertama, holistik, dalam arti pendekatan ekonomi politik melihat
hubungan yang saling berkaitan antara berbagai faktor sosial, ekonomi,
politik dan budaya di sekitar media dan berusaha melihat berbagai
pengaruh dari beragam faktor iri. Kedua historis, dalam artian analisis
ekonomi politik mengaitkan posisi media dengan lingkungan global
dan kapitalistik, dimana proses perubahan dan perkembangan
konstelasi ekonomi merupakan hal yang terpenting untuk diamati.
Ketiga, studi ekonomi politik juga berpegang pada falsafah
materialisme, dalam arti mengacu pada hal-hal yang nyata dalam
realitas kehidupan media.
Pendekatan ekonomi politik media dapat dibagi dalam dua
bagian, yaitu pendekatan ekonomi politik liberal (sebagar mainstream)
dan pendekatan ekonomi politik kritis. Perbedaan prinsip antara
pendekatan liberal dan kritis terletak pada bagaimana aspek ekonomi
politik media itu dilihat. Dalam pendekatan liberal, aspek ekonomi dilihat
sebagai bagian dari kerja dan praktek profesional. Iklan, pemodal dilihat
sebagai instrumen profesional dalam menerbitkan media. Sebaliknya,
dalam pendekatan kritis, aspek ekonomi politik selalu dilihat dan
dimaknai sebagai kontrol. Iklan dan pemodal bukan semata-mata dilihat
sebagai bentuk kerja dan praktek profesional, tetapi iklan dan pemodal
itu adalah instrumen pengontrol, melalui mana kelompok dominan
memaksakan dominasi.yu kepada kelompok lain yang tidak dominan.
Struktur ekonomi media dalam pendekatan liberal juga semata
u
Dikrrrip dari James Curran, Michael Gurevitch, dan Janet Wooliacott, (\g84,' The Study of
the Media: Theoretical Approaches,' dalam Oliver Boyd Barret dan Peter Braham (ed), Media,
Knowledge, and Power,London, Croom Helm, hd. 65
122
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik .-.
dilihat dalam kerangka profesional. Bagian iklan atau pemilik media
adalah salah satu fungsi dari beragam fungsi dalam media. Sebaliknya
dalam pendekatan kritis, beragamnya posisi dan ketidaksamaan posisi
dalam iebuah organisasi medii menyebabkan dominasi satu kelompok
kepada kelomplk lain. Bagian iklan atau pem1li-k -media
dapat
menladikan kekuasaannyu ,tt tok mendominasi Pih_uk luT, misalnya
untuk memaksa bagian redaksi agat memberitakan kasus-kasus yang
menguntungkan pemilik media saia.' Golding 9u. Murdock mengkh
s#ikasikair perbeda an antara dua v arian p endekatan ekonomi- politik
media ini dari aspek epistemology, historicits+ igsues dan focus serta
concern Klasifikisi tersebut adalah sebagai berikut:
Epistemology Liberal Political Economy Critical Political Economy
Epistemology
Historicity
Issues
& Focus
Concern .
a
Parsial: Ekonomi sebagai Holistic: faktor ekonomi,
bidang yang terpisah dan politik, sosial, dan budaya
khusus. saling memPengaruhi'
Analisis historis yang Analisis historis khususnya
obyektif, terlepas dari waktu terfokus pada investigasi
historis yant khusus dan dan deskripsi terhadap
tempat yang penting. kapitalisme modern'
Mekanisme dan struktur Kondisi-kondisi di mana
pasar di mana konsumen aktivitas komunikasi teriipitir,
oleh dan dengan struktur oleh realitas distrikomoditi
yang bersaing pada busi material dan sumber
basis t"g..r,uur, dan daya simbolik yang tidak
kepuasan. seimbang'
Efisiensi ' Keseimbangan antara per-
Kedaulatan individu; da- usahaan swasta dan interlam
arti semakin kuat vensi (campur tangan)
tekanan pasar, semakin Publik
besar kekuasaan konsu- t Keadilan, kesetaraan, dan
men untuk memilih. public good.
t
Lihut lebih lanjut dalam Mark Schulman (1990),'Control Mechanism Inside the Media' dalam
John Downing, Ali Muhammadi, Annabelle Srebemy-Mohammadi(ed), Questioning the
Media: A critical Introduction, London, sage Publication, hal. 113-124
r23
/umal IImu Sosial & IImu politik, Vol. 4, No 2, November 2000
Pendekatan Ekonomi politik Kritis
Fokus tulisan ini adala! per,aekatan ekonomi politik yang
bersifat kritis. Me-nqapa? Sekali lagi karena pendekatan y*g bersifai
kritis inilah ylng-!:l* banyak mendapat p^erhatian dari peieliti dan
Pengamat media di Indonesia. Analisis yang bersifat ekonomis terhadap
media sebenarnya sudah sering dijumpii. Sebut misalnya analisis
mengenai perolehan iklan atau pemetaan kepemilikan media. Namun
perolehan iklan di sini masih dilihat dalam perspektif liberal. Iklan
semata-mata dipandang seb agai bagian dari k-inerja profesional
kalangan media. Apu efek iklan terhidap pemberitaan,'basaimana
Pertarungln y.ang terjadi antara redaksi dan divisi iklan, belum banyak
dipermasalahkan.
Pendekatan ekonomi politik yang bersifat kritis terbagi atas tiga
varian, yaitu (7) ins tru m en ta I i s m; (2i s ni c tu ya I i s m (e. g.Schuison), din
(3) constructivism (e.g. Golding.Murdock).q Perbeda-an antara varian
satu dul yang,lain terletak pada ide-ide dasar untuk meninjau
Permasalahan ekonomi pasar dan keterkaitarurya dengan lingkungan
ekonomi, politik, dan budaya.
Pendekatan instrumentalis melihat elemen ekonomi sebagai
faktor atau variabel yang determinan dan menenfukan media. Fakior
ekonomi itu digambarkan tidak mempunyai kaitan atau hubungan
t'e1gan faktor lain. Media dipandang sebagii ittst ,rmen dari domiriasi
kelas, dan kaum kapitalis menggunakan kekuasaan ekonomi dalam
sistem Pasar untuk memastikan arus informasi publik melalui media
paralel dengan kepentingan dan minatnya. Dominasi itu digambarkan
bersifat searah dan-tanpa perlawanan. Faktor ekonomi"dianggap
menentukan secara langsung jalannya media. Apu yang tetgairlut
dalam media mencerminkan kepentingan dan dominaii da"ri keiompok
dan kekuatan ekonomi.g
Asumsi dasar dari pendekatan instrumentalis ini adalah, dalam
."1uq kapitalistik, ekonomi menjadi faktor yang krusial. Media tidak
bisa hidup tanpa disokong oleh ekonomi. KarenJitu, proses bekerjanya
' lihul tinjauan t*lT mengenai varian pendekatan ekonomi politik ini pada Graham
Murdock dan Peter Golding, (7979),'Capitilism, Comrnunicatiion and Class R"lutior,,' dalam
James Curran, Michael Gurevitch dan Janet Woollacott (ed), Mass Communication anda
o Society, Baverly Hills, Sage publication, hal.7242
Salah satu tokoh penting dalam pendekatan instrumentalis ini adalah Edward S. Herman
dan Noam Chomsky. Lewat bukunya, Manufacturing Consent mereka melihat bagaimana
t24
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik...
media ditentukan oleh kepentingan ekonomi. Sekedar contoh, sebut
misalnya pemberitaan media dalam kasus demonstrasi buruh pabrik
Gudang Garam beberapa waktu yang lalu. Mengapa media tidak begitu
bersemangat memberitakan kasus demonstrasi buruh ini? Bahkan ada
beberapa media yang sengaja sama sekali tidak memberitakan kasus
mogoknya karyawan Gudang Garam karena menuntut kenaikan gaji.
Dalam pendekatan instrumentalis, hal ini disebabkan oleh
ketergantungan media pada pengiklan. Kebetulan Gudang Garam
adalah salah satu penyumbang iklan terbesar bagi bisnis media. Media
lebih memilih tidak memberitakan daripada memberitakan, daripada
berakibat pada putusnya hubungan dengan pengiklan, yang berarti
putusnya sumber ekonomi media. Dengan kata lain, keputusan unfuk
memberitakan suatu peristiwa ditentukan oleh pertimbanganpertimbangan
ekonomi. Jadi, ciri penting dari pendekatan
inslrumentalis adalah sifatnya yang melihat faktor ekonomi sebagai
satu-satunya faktor yang dominan dalam menentukan media. Perilaku
dan tindakan media, digerakkan oleh kepentingan ekonomi politik y*g
pengaruhnya bersifat langsung dan searah.
isi media ditentukan oleh kepentingan dan kekuatan ekonomi politik. Apa yang disajikan
oleh media, bukan sesuatu yang netral, tetapi ditentukan oleh faktor besar yang berada di
luar diri media dan wartawan. Semua faktor itu menentukan berita apa yang ditulis, dan
kearah mana kecenderungan berita itu diarahkan. Menurut mereka, ketika memberitakan
sesuatu, media pada dasarnya melakukan proses penyaringan, ia tidak bisa memberitakan
begitu saja yang menjadi minat dan perhatian mereka. Prosers saringan itu berjalan melalui
lima tahap. Pertama, ukuran, kepemilikan, dan orientasi ekonomi dari media. Kedua,
pengiklan. Apakah peristir,r'a itu berhubungan atau tidak dengan pengiklan, apakah berita
1,ang ditulis bisa membuat pengiklan senang ataukah marah. Ketiga, sumber media massa.
Orientasi pemberitaan juga ditentukan antara lain oleh sumber berita yang diwawancarai
oleh media. Sejauh nana kedekatan media dengan sumber berita, sejauh mana susah atau
sulitnya mencari akses informasi dan seterusnya. Keempat, apa yang disebut sebagai flak:
komentar yang negatif yang umurrnya berbentuk selebaran, telepon, petisi dan sebagainya
yang bemada negatif terhadap suatu program. lni merupakan penyaring yang keempat
yang menetukan media. Kelima, mekanisme anti komunisme. Faktor ini sangat khas Amerika
dan negara Barat. Dalam banyak pemberitaan mereka sangat alergi dengan pemberitaan
yang berhubungan dengan komunisme, dan berita semacam ini umumnya mendapat
saringan dari para redaktur. Apa inti dari gagasan Herman dan Chomsky? Media bukanlah
kekuatan yang netral yang bisa menentukan agenda mereka sendiri. Sebaliknya apa yang
tersaji di media pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan ekonomi politik yang lebih besar
di luar media. Kekuatan ekonomi politik itu yang memaksakan dan menentukan apa yang
disajikan dan bagaimana orientasi pemberitaan media. Selengkapnya lihat Edward S.
Herman dan Noam Chomsky (1988), Manufacturing Consent: The Political Economy of the
Mass Media, New York, Pantheon Books, terutama hai. 1-36
t25
/umal llmu fusial & Ilmu Politik, Vol.4 No 2, November2000
Pendekatan instrumentalis mengundang beberapa kritik.
Pe ndeka tan instrumentalis dianggap terlalu ekonomis dan re duksionis,
mengabaikan elemen atau faktor lain di luar ranah ekonomi politik
yang bisa jadi jrgu menentukan perilaku media. Faktor ekonomi
memang penting dan dominan, narnun tidak sela1u bersifat determinan
dan menjadi satu-satunya faktor yang berpengaruh. Kritik lain,
dominasi kekuatan ekonomi atau politik dalam suatu media sebenarnya
tidak selalu bersifat langsung dan searah. ]ika kita menggunakan
pendekatan instrumentalis, seakan-akan semua tindakan individu dan
media betul-betul digerakkan semata oleh determinan ekonomi. Media
sesungguhnya beroperasi dalam lingkuP yang lebih rumit dan
kompleks. Kritik terhadap pendekatan instrumentalis inilah yang
kemudian melahirkan pendekatan konstruktivist.
Pendekatan konstruktivis melihat faktor ekonomi sebagai
sistem yang belum sempurna, sehingga ekonomi media tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor ekonomi saja, namun j,tgu oleh faktor lain
seperti faktor budaya dan individu. Dalam pendekatan konstruktivis,
negara dan kapital dipandang tidak selalu akan menggunakan media
sebagai instrumen untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan
mereka. Sebab kepentingan ini beroperasi dalam struktur yang
mengandung sejumlah fasilitas sekaligus pembatas, serta stmktur yffig
mengandung sejumlah benturan kepentingan antar berbagai unsur
yang saling bertarung. Pendekatan konstruktivis melihat dominasi
kekuatan ekonomi atau politik tidak bersifat langsung, namun melalui
proses yang rumit, dan melibatkan mekanisme pembenar dan
hegemoni.
Sebut misalnya dalam kasus pemberitaan media atas
pemogokan buruh Gudang Garam tadi. Mengapa media tidak
memberitakan kasus ini, atau kalaupun memberitakannya dengan nada
yang membela kepentingan Gudang Garam. Menurut pendekatan
konstruktivis, hal ini bukan semata-mata karena Gudang Garam adalah
pengiklan besar bug media. Proses yang terjadi dalam internal media
tidak sesederhana itu. Proses ini melibatkan politik pemaknaan,
penandaan dan pemberitaan yang rumit. Ada proses hegemoni yang
berlangsung panjang yang mensugestikan pabrik Gudang Garam
sebagai pemsahaan yang berjasa dalam menyerap tenaga kerja. Gudang
Garam i,tgu perusahaan yang banyak menyumbangkan pajak untuk
126
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik...
pembangunan pemerintah daerah. Pemogokan buruh, dalam
konstruksi ini adalah tindakan orang yang tidak tahu diri, dan sengaja
membikin keonaran. Sebab pemogokan itu praktis bisa membuat pabrik
mengalami keruSdn, sehingga pemerintah akan kehilangan sumber
pendapatan berupa pajak dan retribusi. Pekerja lain yang tidak bisa
bekerja irrgu dirugikan oleh sekelompok orangyang mogok.
DGini terlihat bahwa pemberitaan yang positif terhadap Gudang
Garam melibatkan proses yang rumit, sebuah jalinan hegemoni yang
berlangsung panjang dan lama. Pengaruh kekuatan ekonomi yang
direpresentisikan oleh perusahaan besar semacam Gudang Garam,
beroperasi dalam media tidak melulu lewat jalinan iklan, tetapi lewat
proses pendefinisian yang hegemonik. Sebuah proses itu berlangsung
lama, kontinyu dan tidak disadan, yang menegaskan betapa penting
dan berpengaruhnya Gudang Garam bagi perekonomian rakyat,
terutama di tingkat lokal Kediri dan sekitamya. Konstruksi yang muncul
dengan demikian adalah pemogokan buruh bukan hanya mengganggu
ptoses produksi PT Gudang Garam, namun jngu mengganggu ekonomi
iakyat kecil yang hidupnya sangat tergantung pada Gudang Garam.
Meskipun dalam pendekatan konstruktivis prosesnya berbeda,
p e rhatianny a sesun g guh.yu s ama dengan p endeka tan instrumentalis :
bagaimana media masih cenderung memberitakan dengan nada yang
lebih posidf kepada kekuatan ekonomi politik yang lebih dominan.
Baik pendekatan instrumentalis maupun konslruktivis melihat
bagaimana faktor eksternal di luar diri media lebih menentukan
perilaku media. Ternyata hal ini pada perkembangannya irrgu
menimbulkan kritik tersendiri. Faktor internal, struktur dalam diri
media adalah suatu mekanisme yang. sangat rumit dan bergerak
dinamis. Pemahaman ini kemudian melahirkan pendekatan strukturalis
yang mencoba mengkritisi dua pendekatan yang terdahulu.
Pendekatan s truktff alis lebih memf o kus k an p erhatiannya pada
relasi dan pergulatan unsur-unsur dalam struktur internal media
dengan faktor-faktor eksternal. Namun berbeda dengan pendekatan
instrumentalis yang melihat struktur sebagai bentuk dinamis yang
secara tetap direproduksi dan diubah melalui tindakan-tindakan
praktis, pendekatan strukturalis lebih melihat struktur bersifat solid,
p"r*uten dan tidak dapat dipindahkan (immovable). Dalam
pendekatan strukturalis, ekonomi politik media seharusnya merujuk
127
Jumal llmu Sosial & IImu Politik, Vol. 4, No Z November 2000
pada hasil-hasil proses pemberitaan yang berkaitan langsung dengan
struktur ekonomi sebuah organisasi media. Dengin kita lJin,
pendekatan ekonomi politk media mesti mencakup usp"k pertumbuhan
media, peningkatan jumlah perusah aan, intervensi pemerintah,
perubahan peran negara serta proses-proses akomodasi.
Pers Pasca Orde Baru: Sebuah Studi Kasus
Bagaimana pendekatan kritis ekonomi-potitik media berop erasi,
kita dapat melihatnya dengan mengambil contoh kasus dinamika pers
Indonesia pasca Orde Baru. Penggunaan pendekatan kritis studi media
mengandung konsekuensi bahwa kajian terhadap pers dan perubahan
yang terjadi pada dirinya mesti dilakukan secara holistis. Pers harus
dffiat sebagai entitas yang hidup dan berkembang dalam suatu multi-
Iayered structure- struktur yang bertingkat dan saling mempengaruhi.
Stmktur organisasi media, struktur industri media, struktui ekonomipolitik
Orde Baru, dan struktur kapitalisme global secara bergantian
mempengaruhi eksistensi pers beserta produk-produk dan berbagai
kecenderungan y ang ditunjukkannya.
Pada titik ini, pers pertama-tama harus diletakkan dalam
totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses
ekonorni, sosial dan politik yang berlangsung dilam *iryarakat. Ini
berdasarkan asumsi bahwa teks isi media dan bindakan jurnalis dalam
memproduksinya tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial
memproduksi dan mengonsumsi teks, baik pada jenjang organisasi,
industri dan masyarakat.
Jika kita menggunakan analisis instrumentalis, maka yang
didapatkan adalah gambaran pers yang menjadi instrumen dominasi
Penguasa dan pernilik modal yang ternyata belum banyak mengalami
perubahan dari era orde Baru. Analisis semacam ini memang mampu
mengungkapkan berbagai sisi kebenaran realitas pers dalam era Orde
BarL, namun tidak akan pernah komprehensif. Selain itu, akan sulit
_prr1u menjelaskan bagaimana dinamika atau perubahan yang
berlangsg.g dalam tubuh pers era orde Baru ke era berikutnya.
Memang benar bahwa rejim Orde Baru mendominasi akses
media, merniliki legalitas mengontrol media serta monopoli pemberian
lisensi, dan di sisi lain para pemilik modal di sektor media memiliki
t28
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi politik...
kekuasaan terhadap para pekeqanya. Namun penguasa atau pemilik
modal, seperti hahrya di industri media kapitalis pada umumnya, tidak
selalu mampu sepenuhnya menggunakan media sebagai instrumen
kekuasaan mereka karena struktur tempat mereka berada memuat
sejumlah kontradiksi. Walaupun penguasa memiliki sumber daya
rekayasa informasi untuk menciptakan citra tertentu bagi suatu
kelompok, semua itu dilakukan dalam struktur yang memuat kendalakendala
bagi optimalisasi efektivitas komunikasi.
]ika analisis instrumentalis semata kurang komprehensif untuk
membedah dinamika pers pasca Orde Baru, bagaimana dengan analisis
strukturalis dan analisis konstruktivisme? Dinamika pers Orde Baru
dan sesudahnya memang perlu pula dipahami sebagai bagian dari
proses yang beilangs"r,g dutum struktut potitit otoritarian dan ekonomi
kapitalis yang secara spesifik tercipta selama era Orde Baru. Stmktur
ekonorni-politik Orde Baru itu sendiri juga perlu diamati sebagai suatu
entitas yang telah terintegrasi dalam jalinan struktur yang lebih makro,
antara lain struktur finansial kapitalisme global.
Krisis ekonomi 1997-1998 yang pada akhirnya berujung pada
"Revolusi Mei 7998" menunjukkan struktur finansial kapitalisme global
itu dalam berbagai segi tidak terjangkau oleh intervensi agen pelaku
sosial di tanah air, termasuk kalangan media. Tak pelak, teks
pemberitaan media yang berkembang setelah itu, khususnya dalam
proses-proses politik menjelang berakhirnya rejim Soeharto , jugutidak
teriepas dari konteks ekspansi kapitalisme global, yang menghendaki
liberalisasi ekonomi di negara-negara Dunia Ketiga. Sebuah tuntutan
yang membuat perekonomian Indonesia tidak bisa menghindari
campur tangan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia
dan International Monetary Fund (IMF) yang saat itu bisa disebut
sebagai bangunan mekanisme sistemik liberalisasi ekonomi yang
melawan sosialisme dan kapitalisme nasional, untuknmewujudkan
perkembangan progresif kekuatan pasar intemasional.'"
ro
Studi kasus ini dipinjam dari Dedy N. Hidayat, (2000),'|umalis, Kepentingan Modal, dan
Perubahan Sosial,' dalam Dedy N. Hidayat et.al., Pers dalam 'Revolusi Meio, Runtuhnya
Sebuah Hegemoni, PT Gramedia Pustaka Utama, hLm.437447.
t29
Jumal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 4, No 2 November2000
Namun bukan berarti dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa kapitalisme yang berkembang di Indonesia dan yang
mempengaruhi kehidupan pers adalah struktur yang monolitik. Pada
titik ini, mungkin kita perlu memperdebatkan hubungan antara struktur
dan agensi. Perdebatan bisa dimulai dengan sebuah pertanyaan: Di
antara kondisi-kondisi pada level struktur ekonomi kapitalis di satu
sisi, dengan tindakan agen-agen sosial seperti negara, pekerja pers dan
pemilik modal di sisi lain, manakah yang lebih menentukan
perkembangan dramatis dari pers Orde Baru menuju pers era
sesudahnya?
Menjelang dan sesudah pergeseran politik Mei 7998, perubahan
signifikans struktur ekonomi-politik pers Indonesia lebih merupakan
hasil dari tindakan-tindakan para pekerja pers, atau lebih luas lagi
produk interaksi antara penguasa, pemilik modal, dan pekerja pers.
Perubahan politik-ekonomi yang terjadi membuat para pekerja pers
memiliki kapasitas yang relatif lebih besar untuk melakukan tindakantindakan
signifikans, sehingga teks isi media secara umum mengalami
perubahan dramatis. Perubahan muatan pemberitaan media ini tak
pelak turut memberikan kontribusi pada eskalasi atau akumulasi
tekanan-tekanan terhadup stabilitas hegemoni penguasa dan
kemapanan struktur politik otoritarian Orde Baru.
Namun, seperti dijelaskan Dedy Nur Hidayat, kapasitas agen
pelaku sosial untuk mengubah struktur ekonomi-politik pers pada
waktu itu diperoleh dalam kondisi di mana struktur politik otoritarian
Orde Baru telah berubah cukup signifikans, akibat dari lindakan,
gerakan, dan tekanan para agen pelaku sosial di lapis struktur lain.
Pada titik ini, kita tak dapat mengesampingkan peran gerakan politik
kelompok oposisi yang telah dimulai sejak jauh sebelum
berlangsungnya krisis ekonomi 1997, gerakan mahasiswa dan LSM,
kepanikan pemegang saham dan spekulan valuta asing saat krisis
ekonomi terjadi, tekanan-tekakan lembaga keuangan internasional,
serta gelombang penjarahan yang terjadi di berbagai wilayah tanah air
pada kerusuhan Mei 7998.Lebih jauh lug,perubahan struktur ekonomipolitik
pers Lrdonesia juga sangat dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang
gagal ditanggulangi oleh rejim Orde Baru. Krisis dalam skala dan
intensitas seperti itu merupakan suatu resiko struktural dalam
kapitalisme global, yang pada titik historis spesifik masa itu telah
130
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik -..
mencapai tahap elaborasi strruktural tertefltr, khususnya dari se$
mobilitas dana internasional. -
Bobot relatif dalam analisis hubungan kausal antara stmktur
dan agensi ditentukan oleh kondisi historis spesifik yang ada.
Pembeiian bobot relatif ini juga ditentukan oleh lapis struktur di mana
kajian hubungan kausal antara struktur dan agensi tersebut dilakukan.
Untuk konteki historis spesilik menjelang berakhimya rejim Orde Baru,
perubahan struktur industri pers dan struktur politik Orde Baru dapat
diamati sebagai produk tindakan dan gerakan para agen pelaku sosial
yang ada. Akan tetapi pergeseran itu tak pelak iugu ditentukan oleh
iaktor-faktor sfruktual yang lebih makro, yang berkaitan dengan posisi
struktural kapitalisme Orde Baru pada titik seiarah tertentu.
Pada titik ini, terlihat bahwa kita tidak bisa secara gegabah
menyatakan bahwa Pergeseran politik Mei 1998 dan dampakdampaknya
terhadap iehidupan pers lebih ditentukan oleh kondisikondisi
struktur ekonomi kapitalis. Bobot relatif dari peranan struktur
maupun agensi d.alam hubungan kausal di antara keduanya ditentukan
oleh kondisi historis spesifik yang melingkupinya. Dalam konteks
historis tertentu struktur mungkin lebih menentukan agensi, sementara
dalam konteks historis yang lain justru agensi yang akan menentukan
perubahan struktur.
Dengan adanya fakta yang demikian ini, pers Orde Baru dan pasca
Orde Baru sulit unhrk dipahami hanya sekedar sebagai instrumen dominasi
kelompok tertentu, atau sekedar representasi suatu struktur yangmonolitik.
Pers Orde Baru dan sesudahnya perlu diamati sebagai suatu arena
pergulatan ideologis, di mana proses-proses hegemoni dan kontrahe
gemoni, legitimasi dan delegetimasi berlangsung secara bersamaan.
Beberapa Studi Potensial
Perubahan-perubahan y angterl a di p ada ranah media menj elang
d.an sesudah "revolusi Mei 1.998" menyediakan banyak kasus yang
sangat potensial untuk dikaji berdasarkan pendekatan kritis atau
pendekitan ekonomi politik media. Kasus-kasus ini mestinya menarik
tt
lbid., :nlm. 4/i2449.
131
fumal llmu Sosial &IImu Politih Vol.4 No Z November2h0?
perhatian kalangan akademisi, praktisi dan pengamat media untuk
memberikan sumbangsihnya pada perkembangan khasanah studi
media dan komunikasi khususnya, serta b"gt khasanah studi isu-isu
demokratisasi pada umumnya. Kasus-kasus tersebut, di antaranya
adalah sebagai berikut:
. UU Penyiaran. Ada banyak hal di seputar isu UU Penyiaran
yang menarik untuk dikaji. Apakah pemerintah masih perlu
turut-campur dalam mengatur isi media, iklan, kepemilikan
media, saham asing, sampai pada soal pengaturan gelombang?
Berbagai pihak, dari stasiun televisi swasta, organisasi
penyiaran, ISM, organisasi jurnalis, serta pemerintah sendiri
telah menyusun draft RUU Penyiaran sendiri dan
menyerahkannya kepada DPR. Menarikny a, terdap at p erbedaan
klausul-klausul yang terdapat pada masing-masing draft RUU.
Apakah masing-masing draft menyiratkan kepentingan
ekonomi atau politik tertenhr? Adakah motif ekonomi tertentu
di balik inisiatif stasiun televisi dan organsiasi penyiaran untuk
mengusulkan draft RUU Penyiaran tersendiri? Apakah akses
dan sumber ekonomi dari kelompok-kelompok yang berada di
balik RUU Penyiaran? Hal-hal inilah yang menjadi concern
pendekatan ekonomi politik media. Disini, UU Penyiaran dilihat
bukan sebagai aspek hukum atau aspek ideal, melainkan sebagai
arena yang diperebutkan oleh beragam kepentingan dan
kelompok. Kelompok itu datang dengan membawa agenda dan
kepentingan mereka masing-masing untuk didesakkan dalam
rancangan undang-undang yang kelak dapat menguntungkan
mereka.
. Rantai Media: MetroW-Media Indonesia. Media Indonesia darr
Metro TV dimiliki oleh orang yang sama. Hubungan antara
kedua media ini bukan semata-mata dalam kerangka bisnis atau
profesional, namun juga dalam kerangka ekonomi politik.
Pendekatan ekonomi politik akan melihat bagaimana pola
kerjasama antar kedua media yarrg berbeda itu dilakukan.
Apakah ada sumber dana yang diperebutkan antar keduanya,
atau antara kedua media yang bersinergi ini dengan rantai media
yang lain? Dengan kata lain, jaringan Metro TVdan Media
132
Agus Sudibyo, Absennya Pendekatan Ekonomi Politik ...
Indonesia dilihat dalam perspektif kepentingan ekonomi
tertenfu.
Televisi Swasta dan Keluarga Cendana. Ini adalah isu lama
yang masih tetap relevan untuk didekati dengan pendekatan
ekonomi politik media. Sekali lagi yang ingm dilihat adalah apa
pengaruh kepemilikan media terhadap isi atau arah
pemberitaan media. Televisi swasta sebagai besar sahamnya
hingga kini masih dimiliki keluarga Cendana dan orang-orang
dekatnya. Pendekatan ekonomi politik akan melihat adakah
pengaruh kepemilikan media ini masih berpengaruh signifikans
terhadap isi pemberitaan, meskipun kondisi politik telah
berubah sedemikian rupa.Apakah kepemilikan media itu
mempengaruhi indep endensi dan p emberitaan televisi terhadap
kasus-kasus yang melibatkan orang Cendana secara langsung
maupun tak langsung? Kalaupun ada, bagaimana bentuk
intervensi yang terjadi dan melalui cara-cara bagaimana
interventi itu dilakukan?
Studi Institusi di Ruang Pemberitaan: kasus redaksi kmpo.
Studi tentang mang pemberitaan ini lebih melihat bagaimana
konJlik-konflik ytrrgterjadi di ruang pemberitaan. Misalnya saja
mengambil contoh kasus redaksi majalah Tempo. Akan
diselidiki, bagaimana perbedaan kepentingan antara bagian
redaksi, pemasaran, iklan dan pemilik modal terjadi dan
mempengaruhi kinerja media? Bagaimana beragam
kepentingan itu dinegosiasikan dan siapa yang biasanya akan
menjadi pemenang? Dan masih banyak aspek lain.***
Daftar Pustaka
Curran, lames, Gurevitch, Michael, dan Woollacott, Janet (7987), 'The
Study of the Media: Theoretical Approaches,' dalam Oliver
Boyd Barret dan Peter Braham ("d), Media, Knowledg", and
Power, London, Croom Helm, hal.63-70.
Herman, Edward S. dan Chomsky, Noam (1988), Manufacturing Consent:
The Political Economy of the Mass Media, New York, Pantheon
Books, 1988.
133
Jumal IImu Sosial & IImu Politik Vol. 4 No 2, November 2000
Hidayat, Dedy N. (2000),'Jumalis, Kepentingan Modal, dan Perubahan
Sosial,' dalam Dedy N. Hidayat, Effendi Gazali, Harsono
Suwardi dan Ishadi SK. (penyunting), Pers dalam "Revolusi
Mei", Runtuhnya Sebuah Hegemoni, m Gramedia Pustaka
Utama, hlm. 431,-447.
McNair, Brian (1994), News and Journalism in the UK: A Tbxtbook,
London and New York, Routledge.
McNair, Brian (1995), An Introduction to Political Communicafion, London
and New York, Routledge.
Murdock, Graham dan Golding, Peter (1,979), 'Capitalism,
Communicatiion anad Class Relation,' dalam James Curran,
Michael Gurevitch and ]anet Woollacott (ed), Mass Communication
anda Society, Baverly Hills, Sage Publication, hal. '1,2-42.
Rogers, Everett M. (1982), 'The Empirical and the Critical School of
Communication Research,' dalam Michael Burgoon ("d), Communication
Yearbook, Vol. 5, London, Transaction Books, hal.
725-1.43.
Rogers, Everett M. (7994), A History of Communication Study: A Biographical
Approacrl, New York, The Free Press.
Schulman, Mark, (7990), 'Control Mechanism Inside the Media,' dalam
John Downing, Ali Muhammadi, dan Annabelle Sreberny-
Moharnmadi(ed), Questioning the Media: A Critical Introducfion,
London, Sage Publication, hal.L13-124.
134
Home
Log In
Sign Up

EKONOMI POLITIK pers
by rijon sianturi

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 19

EKONOMI POLITIK REGULASI MEDIA(RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)

Oleh :
Nawiroh Vera , M.Si

Fakultas Ilmu KomunikasiUniversitas Budi Luhur
Abstract
The political economy of mass media is the study of control and survival insocial life. The important issues of the freedom of the pers era in Indonesiaright now, is not only freedom from absolutisme and authoritarian policy, Themore important things is how to built freedom for the people and freedom of the people. This article try to look objectively about RUU pornografi issues and why need a long time to proof it.
1. PENDAHULUAN
Dalam proses transisi menuju demokratisasi di Indonesia, sebagai salah satupilar demokrasi, yang penting dalam era kebebasan pers saat ini bukanlahsekedar ‘kebebasan dari’ (
freedom from absolutisme
), kekuasaan otoriter,sebagaimana era Orde Baru melalui pemberlakuan SIUPP (Surat Izin UsahaPenerbitan Pers, Deppen yang indoktrinatif seperti penentuan Pemred sebuahHarian melalui
fit and proper test
yang mengikat, dan seterusnya. Lebih dariitu, yang perlu diupayakan bagaimana membangun ‘kebebasan untuk’(
freedom for the people
) dan kebebasan manusia (
freedom of the people
).Kebebasan dimaksud dalam arti bahwa terbukanya ruang diskursus dankonsolidasi publik untuk menentukan hak-hak partisipasi politiknya. Sehinggakebebasan manusia, meminjam istilah
Feurbach
sebagai
galthung
makhlukalamiah yang otonom sebagai penggerak roda sejarah kemanusiaanya dapatterealisir tanpa adanya hegemoni dan intervensi negara secara berlebihan.Kebebasan manusia dalam arti bahwa manusia merdeka untuk menyatakanpendapat, menyampaikan dan memperoleh informasi sebagai hak asasisebagai individu, kelompok, atau organisasi. Sebab, kebebasan pers yang

20 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
‘sesungguhnya’ adalah menjadi indikator bagi lahirnya perubahan sosialmenuju demokratisasi, sebagaimana pengalaman-pengalaman di negara-negara maju lain yang menyebut bahwa demokrasi hanya mungkin terbentuk jika terciptanya partisipasi politik publik luas yang didorong oleh mekanismealur informasi yang bebas. Bukan bebas tanpa aturan seperti kita lihat diberbagai media massa Indonesia saat ini. Rupanya kebebasan pers yangdibuka pemerintah membawa dampak yang sangat luas, yaitu runtuhnya nilai-nilai moral dan agama dikalangan masyarakat Indonesia yang terlena olehkebebasan, termasuk kebebasan berperilaku yang mengabaikan rasa malu.Pers bebas rupanya telah disalahartikan, bahkan oleh insan pers itu sendiri.Pers bebas berarti boleh menampilkan foto-foto wanita atau pria berbusanaminim, nyaris bugil, memuat cerita-cerita yang membangkitkan nafsu birahidan gambar atau film yang mempertontonkan hubungan sex secara vulgar. Haltersebut memunculkan keprihatinan banyak pihak akan dampak tayanganmedia yang berbau porno.Dalam wilayah itu, tarik-menarik atas kontroversi RUU anti Pornografi danpornoaksi (selanjutnya disebut RUU APP) yang dibuat oleh tim inisiatif DPRyang kini masih ‘ngendon’ di pemerintah patut dipertanyakan. Pilihanpemerintah untuk menunda pengesahan RUU tersebut bisa menimbulkan efekyang kontra-produktif bagi jalannya proses transisi demokrasi ini. Di satu sisi,pemerintah hendak membangun kepercayan publik (
public trust
) bagi upaya
recovery
/ pemulihan ekonomi akibat krisis. Di sisi lain, pemerintah dihadapkanoleh situasi penolakan baik oleh para pemilik kapital media massa yang juga didukung melalui pemberitaan media terhadap nasib RUU APP yang merekasebut sebagai “melecehkan perempuan” dan “melanggar HAM”.Misalnya, judul pemberitaan yang dimuat oleh media cetak tentang RUUtersebut;
RUU Pornografi Dinilai Langgar HAM
( Media Indonesia Senin

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 21

27/2/2006),
RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi Melecehkan Perempuan
(Jurnal perempuan, 28 Mei 2004), dan seterusnya. Atau juga oleh berbagai LSM diantaranya Yayasan Jurnal Perempuan.Gadis Arivia yang mewakili sebagai direktur eksekutif yayasan tersebut menilai RUU APP yang akan disahkan tersebut sangat represif dan menghancurkan budayamasyarakat, khususnya perempuan. Gadis mencontohkan, didalam RUUtersebut disebutkan bahwa mempertontonkan payudara dimuka umum akandikenakan ancaman hukuman 1 – 5 tahun penjara atau denda 50 – 250 juta.Persoalannya, disejumlah daerah di Indonesia ini masih banyak perempuanyang memang lebih senang telanjang dada bukan karena pornografi tetapimemang budayanya begitu. Apakah perempuan dengan kultur seperti ini harusdidenda. Menurut Gadis, bentuk inilah yang dimaksud represif dalam RUUtersebut. Padahal pemahaman budaya yang direpresif itu akanmenghancurkan budaya itu sendiri.Pada saat demikian, pilihan penundaan pengesahan RUU tersebut memilikidua makna yang signifikan
. Pertama
, belum munculnya
political will
pemerintah untuk benar-benar memproduksi undang-undang yang partisipatif dan akomodatif bagi keberlangsungan hajat publik bagi terbukanya ruangpublik yang terbuka, setara, dan menjamin kepentingan hak-hak asasimanusia. Dengan demikian, penundaan itu bisa dilihat sebagai kasus dariadanya upaya negosiasi elektron kepentingan bisnis dari kelompok-kelompoktertentu dengan pemerintah untuk secara sadar mempengaruhi dan mengubahsubstansi dasar RUU anti pornografi. Mengapa? Secara substansif RUU antipornografi dan pornoaksi mengandung nilai-nilai moral dan pembatasanterhadap isi media pada umumnya, yang saat ini dikhawatirkan akanmembatasi celah-celah ekonomi-bisnis mereka atau bisa juga menutup samasekali ruang bagi produk-produk cabul yang terus merajalela di pasaran. Disamping itu, RUU tersebut juga memuat upaya terciptanya perubahan nilai-

22 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
nilai sosial, misalnya moralisme masyarakat, dan terciptanya kultur masyarakatyang beradab.
Kedua
, lebih lanjut, penundaan tersebut memperlihatkan praktek-praktek relasikekuasaan antara
state
di satu sisi, dengan
market
di sisi lain yangmembangun hubungan mutualistik-otokratik.Dalam wilayah ini, yang menjadikekhawatiran publik menjadi jelas dihadapan bahwa persekutuan antara
state
dan
market
tidak lebih dari usaha mencari keuntungan dalam wilayah ekonomi.Praktek ini menunjukan domain publik yang dipinggirkan atas nama ‘kebijakan’yang sama sekali keluar dari nilai-nilai kebijakan itu sendiri. Pemerintah (
state
)sebagai
decision maker
kebijakan tidak lagi mementingkan aspirasi dankepentingan publik. Problem ini menjadi tanggung-jawab bersama-sama olehsetiap individu dalam masyarakat.Makalah ini akan berusaha melihat muatan-muatan RUU APP dan beberapapasal-pasal yang dianggap kontroversial, dan perlu diadakan perubahan. Jugahendak menunjukan relevansinya terhadap kesadaran publik bagi konstruksisosial baru di masyarakat. Ide-ide pemenuhan domain publik secara luas,bebas dari intervensi, hegemoni negara, sentralisme dan monopolisme kapital,
equality
(kesetaraan) dan
liberty
(kebebasan) masyarakat menjadi substereuntuk digagas lebih lanjut. Di sinilah letak cepat-lambatnya gerakan sosialyang membawa risalah kesadaran kritis publik terhadap, meminjam istilah
Gramsci
hegemoni negara yang dominan, untuk menuju
civil society
.
2. PEMBAHASANKONSEPTUALISASI PENDEKATAN POLITIK EKONOMI MEDIA MASSA
Konsepsi politik ekonomi pada awalnya bermula dari upaya dukunganterhadap akselerasi kapitalis yang menolak sistem politik merkantilis yangdianggap tidak efektif dan efesien pada abad ke-18. Secara historis, The NewPalgrave 1
,
membuat definisi politik ekonomi sebagai studi tentang

Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi ) 23

kesejahteraan dan usaha manusia untuk memenuhi nafsu perolehan

(penawaran dan pemenuhan hasrat).Konsep politik ekonomi merupakan derivasi dari bahasa Yunani, ekonomi(
oikos
dan
nomos
) terkait pada tata-atur rumah tangga, politik (
polis
)berdimensi kota-negara (
city-state
). Ini menjadi embrio bagi lahirnya konsepsipolitik ekonomi klasik, ditandai oleh munculnya pandangan liberal yang diawalioleh Adam Smith, David Ricardo, dan kawan-kawan.Selanjutnya, politik ekonomi dipandang sebagai kombinasi dari kajian relasinegara/pemerintah terhadap aktivitas industri individu (
Palgrave
, 1917).

Dengan demikian, konsepsi politik ekonomi dapat dirumuskan sebagai studitentang relasi-relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang dalaminteraksinya secara bersama-sama menentukan sisi produksi, distribusi dankonsumsi sumber daya (
Vincent Mosco
, 1996).Bila dikaitkan dengan wilayah komunikasi, khususnya industri media massa,sumber daya yang dimaksud berupa surat kabar, televisi, buku, video, film,pemirsa dan seterusnya. Produk-produk ini menjadi sumber daya (
resource
)untuk didistribusikan ke publik dan dikonsumsi. Rangkaian pola produksi,distribusi, dan konsumsi dalam industri media massa melibatkan relasi pihak jurnalis, organisasi media, pemilik modal atau kapitalis (perspektif ekonomi-bisnis), dan negara—atau tepatnya pemerintah (perspektif politis). Yangdiutamakan adalah terjadinya alur umpan balik proses produksi yangmelibatkan jaring-jaring produser, agen, pengecer, dan konsumen beli-sewadalam mata rantai komersial.Selanjutnya pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utamatentang hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, danideologi media itu sendiri.

24 Ekonomi Politik Regulasi Media ( RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi )
Dalam konteks media sebagai institusi kapitalis, ada 3 konsep penting yangdiutarakan oleh
Mosco
(1996), yaitu:1. Komodifikasi, di mana media massa menjadi penting dalam proseskomodifikasi karena menjadi tempat produksi komoditas dan berperanpenting dalam periklanan.2. Spatialisasi, merupakan perpanjangan institusi dari kekuasaanperusahaan dalam industri komunikasi.3. Strukturasi, di mana terciptanya suatu struktur dalam masyarakat yangdiciptakan oleh agen manusia dengan struktur sosial dan mempunyaihubungan antara satu dan yang lainnya.Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titikkesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks padaprinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teksdimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atauideologi kelas tertentu. Pada titik tertentu, pada diri teks media sudah bersifatideologis (
Littlejohn
, 2002:217).Hubungan media massa dengan ideologi, menurut
Althusser
, adalah bahwamedia dalam konteks ideologi modern akan banyak berperan sebagai
ideological state apparatus
(
Eriyanto
, 2001:87-102). Dengan demikian, mediamassa berfungsi sebagai ranah dan dasar pembenaran praktek represi yangdilakukan negara kepada para warganya.Setidaknya ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memahamihubungan ideologi dengan media.

Pertama, ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasisecara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yangberbeda menuju perbedaan makna.

Kedua, status ideologis selalu dibuat secara individual tapi ideologisendiri tidak selalu produk kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa
Send the Academia.edu team a comment

Job Board
About
Press
Blog
We're hiring engineers!
FAQ
Feedback
Terms
Privacy
Copyright

Academia © 2013

2/17/2013

Agenda Setting Media dan Penerapannya
Dipublikasi pada 14 November 2011 oleh fatmafarama
Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Idealnya, media tak sekedar menjadi sumber informasi bagi publik. Namun juga memerankan fungsi untuk mampu membangun opini publik secara kontinyu tentang persoalan tertentu, menggerakkan publik untuk memikirkan satu persoalan secara serius, serta mempengaruhi keputusan para pengambil kebijakan. Di sinilah kita membayangkan fungsi media sebagai institusi sosial yang tidak melihat publik semata-mata sebagai konsumen.
Dan Agenda Setting Theory adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa.
Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang agenda setting adalah:
(1) masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu;
(2) konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain;
Salah satu aspek yang paling penting dalam konsep agenda setting adalah peran fenomena komunikasi massa, berbagai media massa memiliki penentuan agenda yang potensial berbeda termasuk intervensi dari pemodal
Teori agenda setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Penelitian empiris ini dilakukan Maxwell E. McCombs dan Donald L. Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan, walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita. Itu terjadi ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak bukan saja belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, mereka juga belajar sejauh mana pentingnya suatu isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa.
Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai mediator antara “the world outside and the pictures in our heads”. McCombs dan Shaw juga sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.
Menurut McCombs dan Shaw, “we judge as important what the media judge as important.” Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan menjadi tidak terlihat sama sekali.
McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi prioritas juga bagi publik atau masyarakat.
Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat umum.
News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.
Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan menyebutnya sebagai framing.
McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang teori agenda setting, bahwa “the media may not only tell us what to think about, they also may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it” (McCombs, 1997).
Menurut teori agenda setting, media massa memang tidak dapat mempengaruhi orang untuk berubah sikap tetapi dengan fungsinya sebagai gate keeper (penjaga gawang atau penyaring) yang memilih suatu topik dan persoalan tertentu dan mengabaikan yang lain. Dengan menonjolkan suatu persoalan tertentu dan mengesampingkan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia seperti yang disajikan dalam media massa. (Rakhmat, 1989:259-260), ini berarti media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang dan mempengaruhi persepsi khalayak tentang yang dianggap penting.
Bernard Coher, (1963) seorang ahli politik dengan singkat menyatakan asumsi dasarnya mengenai agenda setting, menurutnya :
“Media massa lebih sekedar memberi informasi atau opini media massa mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi media massa sangat berhasil mendorong khalayak untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”. (Rakhmat, 1989:227)
Hampir satu dasa warsa Mc Combs dan Shaw mengemukakan agenda setting khalayak terhadap persoalan tersebut, singkatnya apa yang dianggap penting media dianggap penting oleh masyarakat dan apa yang dilupakan oleh media massa juga akan luput dari perhatian masyarakat.
Penelitian empiris tentang teori agenda setting dilakukan oleh Mc. Combs dan Shaw ketika mereka meneliti pemilihan presiden pada tahun 1972 mereka menulis antara lain : dampak media dalam kemampuan untuk menimbulkan perubahan kognitif diantara individu-individu telah dijuluki sebagai fugsi agenda setting dan komunikasi massa. Disinilah terletak efek komunikasi, yang terpenting kemampuan media untuk strukrurisasi dunia untuk kita.
Teori agenda setting dimulai dengan asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, tulisan yang akan disiarkan, setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar atau waktu televisi dan radio), dan cara penonjolan (ukuran judul pada surat kabar, frekuensi penyiaran pada televisi dan radio)
Contoh kasus Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai-sampai diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550, Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.
Framing yang dilakukan media membuat suatu berita terus menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Seperti yang dikatakan Robert N. Ertman, framing adalah proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Masyarakat akan menjadikan topik utama yang diangkat oleh media sebagai bahan perbincangan sehari-hari. Pengaruh dari teori agenda setting terhadap masyarakat dan budaya sangat besar. Dunia fashion mengambil kesempatan ini untuk menarik style untuk kemudian menjadikannya trendsetter. Bahkan hingga menyentuh lapisan masyarakat menengah ke bawah. Banyak dijual kaos bergambar wajah Manohara di pasaran. Popularitas Manohara di tanah air langsung melesat bak meteor. Begitu juga yang terjadi pada kasus Prita. Dampak dari media massa yang terus mem-blow up kasusnya terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.
Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik mengenai dua kasus di atas, pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan terhadap kasus-kasus ini.
Mengenal Organisasi Pers 13 Agustus, 2009
Posted by abdurrosyid in Hobiku Menulis.
Tags: fungsi, jabatan, media, organisasi, pers, redaksi, wartawan
trackback
Lembaga atau perusahaan pers, sebagaimana lembaga atau perusahaan pada umumnya, memiliki organisasi yang terdiri dari berbagai macam jabatan. Jabatan-jabatan tersebut disusun berdasarkan fungsi-fungsinya. Dan masing-masing jabatan memiliki tugasnya masing-masing. Berikut ini bagan organisasi tersebut.

1. Dewan Redaksi
Dewan Redaksi biasanya beranggotakan Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Wakilnya, Redaktur Pelaksana, dan orang-orang yang dipandang kompeten menjadi penasihat bagian redaksi. Dewan Redaksi bertugas memberi masukan kepada jajaran redaksi dalam melaksanakan pekerjaan redaksional. Dewan Redaksi pula yang mengatasi permasalahan penting redaksional, misalnya menyangkut berita yang sangat sensitif atau sesuai-tidaknya berita yang dibuat tersebut dengan visi dan misi penerbitan yang sudah disepakati.
2. Pemimpin Umum
Bertanggung jawab atas keseluruhan jalannya penerbitan pers, baik ke dalam maupun ke luar. Dapat melimpahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum kepada Pemimpin Redaksi sepanjang menyangkut isi penerbitan (redaksional) dan kepada Pemimpin Usaha sepanjang menyangkut pengusahaan penerbitan.
3. Pemimpin Redaksi
Pemimpin Redaksi (Pemred, Editor in Chief) bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik media massa yang dipimpinnya. Di surat kabar mana pun, Pemimpin Redaksi menetapkan kebijakan dan mengawasi seluruh kegiatan redaksional. Ia bertindak sebagai jenderal atau komandan.
Pemimpin Redaksi juga bertanggung jawab atas penulisan dan isi Tajuk Rencana (Editorial) yang merupakan opini redaksi (Desk Opinion). Jika Pemred berhalangan menulisnya, lazim pula tajuk dibuat oleh Redaktur Pelaksana, salah seorang anggota Dewan Redaksi, salah seorang Redaktur, bahkan seorang Reporter atau siapa pun — dengan seizin dan sepengetahuan Pemimpin Redaksi— yang mampu menulisnya dengan menyuarakan pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.
Berikut ini tugas Pemimpin Redaksi secara lebih terinci:
1. Bertanggungjawab terhadap isi redaksi penerbitan
2. Bertanggungjawab terhadap kualitas produk penerbitan
3. Memimpin rapat redaksi
4. Memberikan arahan kepada semua tim redaksi tentang berita yang akan dimuat pada setiap edisi.
5. Menentukan layak tidaknya suatu berita, foto, dan desain untuk sebuah penerbitan
6. Mengadakan koordinasi dengan bagian lain seperti Pemimpin Perusahaan untuk mensinergikan jalannya roda perusahaan
7. Menjalin lobi-lobi dengan nara sumber penting di pemerintahan, dunia usaha, dan berbagai instansi
8. Bertanggung jawab terhadap pihak lain, yang karena merasa dirugikan atas pemberitaan yang telah dimuat, sehingga pihak lain melakukan somasi, tuntutan hukum, atau menggugat ke pengadilan. Sesuai aturan, tanggung jawab oleh Pemimpin Redaksi bila dilimpahkan kepada pihak lain yang dianggap melakukan kesalahan tersebut.
4. Sekretaris Redaksi
Seorang Sekretaris Redaksi memiliki tugas sebagai berikut:
1. Menata dan mengatur undangan dari instansi, perusahaan, atau lembaga yang berkaitan dengan pemberitaan
2. Menghubungi sumber berita atau instansi untuk pendaftaran, konfirmasi, atau pembatalan undangan, wawancara, dan kunjungan kerja
3. Menyimpan salinan kartu pers dan foto untuk mensuport kebutuhan kerja para wartawan dalam meliput satu acara yang mengharuskan membuat tanda pengenal seperti menyiapkan
4. Menyediakan peralatan kerja redaksi seperti tape, batu baterei, kaset, alat tulis, dan note book
5. Menata keperluan keuangan redaksi: uang perjalanan, uang saku, uang rapat.
6. Mengatur jadwal rapat redaksi: rapat perencanaan, rapat cheking, rapat final.
5. Redaktur Pelaksana
Di bawah Pemred biasanya ada Redaktur Pelaksana (Redaktur Eksekutif, Managing Editor). Tanggung jawabnya hampir sama dengan Pemred, namun lebih bersifat teknis. Dialah yang memimpin langsung aktivitas peliputan dan pembuatan berita oleh para reporter dan editor.
Adapun rincian tugas Redaktur Pelaksana adalah sebagai berikut:
1. Bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja redaksi sehari-hari
2. Memimpin rapat perencanaan, rapat cecking, dan rapat terakhir sidang redaksi
3. Membuat perencanaan isi untuk setiap penerbitan
4. Bertanggung jawab terhadap isi redaksi penerbitan dan foto
5. Mengkoordinasi kerja para redaktur atau penanggungjawab rubrik/desk
6. Mengkoordinasikan alur perjalanan naskah dari para redaktur ke bagian setting atau lay out.
7. Mengkoordinator alur perjalanan naskah dari bagian setting atau lay out ke percetakan
8. Mewakili Pemred dalam berbagai acara baik ditugaskan atau acara mendadak
9. Mengembangkan, membina, menjalin lobi dengan sumber-sumber berita
10. Mengedit naskah, data, judul, foto para redaktur
11. Mengarahkan dan mensuvervisi kerja para redaktur dan reporter
12. Memberikan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif kepada redaktur secara periodik.
6. Redaktur
Redaktur (editor) sebuah penerbitan pers biasanya lebih dari satu. Tugas utamanya adalah melakukan editing atau penyuntingan, yakni aktivitas penyeleksian dan perbaikan naskah yang akan dimuat atau disiarkan. Di internal redaksi, mereka disebut Redaktur Desk (Desk Editor), Redaktur Bidang, atau Redaktur Halaman karena bertanggung jawab penuh atas isi rubrik tertentu dan editingnya. Seorang redaktur biasanya menangani satu rubrik, misalnya rubrik ekonomi, luar negeri, olahraga, dsb. Karena itu ia dikenal pula dengan sebutan “Jabrik” atau Penanggung Jawab Rubrik.
Berikut ini tugas seorang redaktur secara lebih terinci:
1. Mengusulkan dan menulis suatu berita dan foto yang akan dimuat untuk edisi mendatang
2. Berkoordinasi dengan fotografer dan riset foto dalam pengadaan foto untuk setiap penerbitan
3. Membuat lembar penugasan atau Term Of Reference (TOR) kepada para reporter dan fotografer
4. Mengarahkan dan membina reporter dalam mencari berita dan mengejar sumber berita
5. Memberikan penilaian kepada reporter baik penilaian kualitatif maupun kuantitatif.
6. Memberikan laporan perkembangan kepada atasannya yaitu Redaktur Pelaksana
7. Koordinator Liputan
Koordinator Liputan memiliki tugas sebagai berikut:
1. Memantau dan mengagendakan jadwal berbagai acara: seminar, press conference, acara DPR dll
2. Membuat mekanisme kerja komunikasi antara redaktur dan reporter
3. Memberikan lembar penugasan kepada reporter/wartawan dan fotografer
4. Mengadministrasikan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap reporter
5. Memantau tugas-tugas harian para wartawan/reporter
6. Melakukan komunikasi setiap saat kepada para redaktur, reporter/wartawan, dan fotografer
7. Memberikan penilaian kepada reporter/wartawan secara kuantitas maupun kualitas
8. Reporter
Di bawah para editor adalah para reporter. Mereka merupakan “prajurit” di bagian redaksi. Mencari berita lalu membuat atau menyusunnya, merupakan tugas pokoknya.
Ini adalah jabatan terendah pada bagian redaksi. Tugasnya adalah melakukan reportase (wawancara dan sebagainya ke lapangan). Karena itu, merekalah yang biasanya terjun langsung ke lapangan, menemui nara sumber, dan sebagainya.
Tugas seorang reporter secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
1. Mencari dan mewawancarai sumber berita yang ditugaskan redaktur atau atasan
2. Menulis hasil wawancara, investasi, laporan kepada redaktur atau atasannya
3. Memberikan usulan berita kepada redaktur atau atasannya terhadap suatu informasi yang dianggap penting untuk diterbitkan
4. Membina dan menjalin lobi dengan sumber-sumber penting di berbagai instansi
5. Menghadiri acara press conferensi yang ditunjuk redaktur, atasannya, atau atas inisiatif sendiri.
9. Redaktur Bahasa / Korektor Naskah
Seorang Redaktur Bahasa / Korektor Naskah memiliki tugas sebagai berikut:
1. Memeriksa,mengedit, dan menyempurnakan naskah sesuai dengan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
2. Menyesuaikan naskah yang sudah diedit dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jurnalistik
3. Mengubah pengulangan kata-kata yang sama dalam satu tulisan, sehingga kalimat dalam naskah menjadi bervariasi.
4. Mengedit penggunaan logika bahasa, alur naskah
5. Menyeragamkan style penulisan masing-masing redaktur, sehingga gaya penulisan seluruh naskah menjadi sama
6. Memeriksa naskah kata per kata, penggunaan titik, koma, tanda seru, titik dua.
7. Mengedit penggunaan kata yang berasal dari bahasa asing, bahasa daerah, bahasa slank sehingga mudah dimengerti pembaca.
10. Fotografer
Fotografer (wartawan foto atau juru potret) tugasnya mengambil gambar peristiwa atau objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita yang dibuat wartawan tulis. Ia merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisa (reporter).
Jika tugas wartawan tulis menghasilkan karya jurnalistik berupa tulisan berita, opini, atau feature, maka fotografer menghasilkan Foto Jurnalistik (Journalistic Photography, Photographic Communications). Fotografer menyampaikan informasi atau pesan melalui gambar yang ia potret. Fungsi foto jurnalistik antara lain menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to entertain).
Adapun tugas seorang fotografer secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
1. Menjalankan tugas pemotretan yang diberikan redaktur atau atasannya
2. Melakukan pemotretan sumber berita, suasana acara, aktivitas suatu objek, lokasi kejadian, gedung, dan benda-benda lain
3. Mengusulkan konsep desain untuk cover majalah
4. Menyediakan foto-foto untuk mendukung naskah, artikel, dan berita
5. Mengarsip foto-foto, filem negatif, atau compact disk bagi kamera digital
6. Melaporkan setiap kegiatan pemotretan kepada atasan
7. Mempertanggungjawabkan setiap penggunaan filem negatif, baterai, atau compact disk yang telah digunakan kepada perusahaan
11. Koresponden
Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki Koresponden (correspondent) atau wartawan daerah, yaitu wartawan yang ditempatkan di negara lain atau di kota lain (daerah), di luar wilayah di mana media massanya berpusat.
12. Kontributor
Kontributur atau penyumbang naskah/tulisan secara struktural tidak tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Ia terlibat di bagian redaksi secara fungsional. Termasuk kontributor adalah para penulis artikel, kolomnis, dan karikaturis. Para sastrawan juga menjadi kontributor ketika mereka mengirimkan karya sastranya (puisi, cerpen, esai) ke sebuah media massa.
Wartawan Lepas (Freelance Journalist) juga termasuk kontributor. Wartawan Lepas adalah wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu, sehingga bebas mengirimkan berita untuk dimuat di media mana saja, dan menerima honorarium atas tulisannya yang dimuat.
Termasuk kontributor adalah Wartawan Pembantu (Stringer). Ia bekerja untuk sebuah perusahaan pers, namun tidak menjadi karyawan tetap perusahaan tersebut. Ia menerima honorarium atas tulisan yang dikirim atau dimuat.
13. Riset, Pustaka, dan Dokumentasi
Bagian Riset, Pustaka, dan Dokumentasi memiliki tugas sebagai berikut:
1. Mencari data-data, artikel, tulisan yang dibutuhkan untuk sebuah penulisan oleh reporter, redaktur, redaktur pelaksana, dan Pemimpin Perusahaan.
2. Mencari dan menata buku-buku yang berkaitan dengan tugas dan kerja para wartawan
3. Menata majalah, surat kabar, dan tabloid setiap hari dan menyimpannya dengan baik sesuai aturan
4. Melakukan kerja sama dengan bagian riset dan dokumentasi perusahaan lainnya seperti barter majalah, koran, tabloid, dan buku.
5. Mengusulkan suatu berita kepada redaksi bila dalam melaksanaan tugas menemukan data-data atau informasi penting
14. Artistik
Bagian Artistik memiliki tugas sebagai berikut:
1. Merancang cover atau kulit muka
2. Membuat dummy atau nomor contoh sebelum produk di cetak dan dijual ke pasa
3. Mendesain dan melay out setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka
4. Mengatur peruntukan halaman untuk naskah
5. Menulis judul berita,anak judul, caption foto, nama penulis pada setiap naskah
6. Menulis nomor halaman, nama rubrik/desk, nomor volume terbit, hari terbit, dan tanggal terbit pada setiap edisi
15. Pracetak
Bagian Pracetak memiliki tugas sebagai berikut:
1. Membawa naskah yang sudah disetujui pemimpin redaksi ke percetakan untuk dicetak
2. Mengawasi proses pencetakan di percetakan
3. Menerima kondisi produk dalam keadaan baik dari percetakan
4. Bersama dengan bagian distribusi, segera mengedarkan produk tersebut ke pasar
16. Pemimpin Usaha
Pemimpin Usaha berada dibawah Pemimpin Umum, sejajar dengan Pemimpiin Redaksi. Kalau Pemimpin Redaksi hanya berurusan dengan masalah keredaksian, maka Pemimpin Usaha khusus berurusan dengan masalah komersial.
Pemimpin Usaha bertugas menyebarluaskan media massa, yakni melakukan pemasaran (marketing) atau penjualan (selling) media massa. Pemimpin Usaha ini membawahi Manajer Keuangan, Manajer Pemasaran, Manajer Sirkulasi / Distribusi, dan Manajer HRD (Human Resource Development).
undang-undang no.40 tahun 1999 tentang pers di indonesia
Posted on September 18, 2008 | Tinggalkan Komentar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang- undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS. UU
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. 12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
(1) Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
(2) Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.
(3) Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
(1) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
(2) Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
(1) Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2) Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
(1) Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
(2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
(3) Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
(4) Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
(5) Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
(6) Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
(7) Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
(1) Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
(1) Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
(2) Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala;
Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
Kode Etik Jurnalistik
Share this post

KODE ETIK JURNALISTIK (KEJ)

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.


Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

(Kode Etik Jurnalistik ini ditandatangani oleh 29 organisasi pers di Jakarta, 14 Maret 2006. Dewan Pers menetapkannya melalui Surat Keputusan Nomor 03/SK-DP/III/2006 yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008)
Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya. Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:
1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
2. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.
PRINSIP KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Prinsip-prinsip komunikasi dalam penerapan konteks kebudayaan akan lebih dapat dipahami dalam konteks perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial tertentu. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip terhadap suatu obyek sosial atau peristiwa. Masalah-masalah kecil yang timbul dalam komunikasi seringkali akibat dari perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi ini diakibatkan oleh derajat kesamaan dan ketidaksamaan yang dicapai dalam integrasi sosial antara komunikator dan komunikan.
HOMOFILY DAN HETEROFILY
Homofily adalah derajat atau tingkatan kesamaan dari pasangan sumber dan penerima pesan yang disebabakan oleh ciri-ciri atribut (unsur-unsur budaya) yang sama pada unsur-unsur budaya yang terdapat pada kepercayaan, pendidikan atau status sosial. Sedangkan heterofily adalah cerminan yang berlawanan dengan homofily adalah derajat ketidaksamaan dari pasangan sumber dan penerima pesan yang disebabkan oleh cirri-ciri atribut (unsur budaya)yang berbeda pada unsur-unsur budaya yang terdapat pada kepercayaan, pendidikan atau status sosial.
Menurut Aubrey Fisher (1996) dalam Rumondor (2003) homofily dan heterofily adalah salah satu aspek penerapan prinsip komunikasi dalam konteks antar budaya yang biasanya menjadi subyek kajian ilmuwan psikologi dan ilmuwan komunikasi. Sasaran kajiannya mengenai keterpaduan (cohesiveness) dalam interaksi antar pribadi dan klompok seperti derajat atau tingkat kepuasan, loyalitas kelompok kesetiakawanan atau solidaritas, dan sikap keterlibatan anggota kelompok. Konsep keterpaduan ini adalah cirri komunikasi yang menentukan dan mengembangkan serta memelihara keterpaduan yang tinggi. Prinsip homofily dan heterofily ini menyangkut masalah peranan komunikasi daam meningkatkan kecenderungan para anggota kelompok untuk melakukan pilihan dengan memperhitungkan resiko tercapai tidaknya keterpaduan dan keseimbangan dibandingkan jika dilakukan oleh perorangan.
Perspektif komunikasi tingkat derajat kesamaan (homofily) dan ketidaksamaan (heterofily) ini dimaksudkan agar mencapai komunikasi yang efektif. Komunikasi yang efektif berhubungan dengan pertanyaan apakah pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference) dan kerangka pengalaman (frame of experience) komunikan.. Kerangka acuan ini meliputi : nilai-nilai budaya, agama, serta pendidikan yang yang pernah dialaminya. Jika kerangka acuan dan pengalaman ada kemiripan atau kesamaan, komunikasi akan berlangsung lancar dan efektif.Komunikasi dapat efektif disebabkan juga oleh adanya komunikasi yang persuasive. Komunikasi efektif apabila ada kecocokan rangsangan antara pengiriman dan penerimaan pesan.Prinsip penting dalam heterofily jika trimbul ketidaksamaan maka upaya yang dilakukan adalah menerobos agar ada kesamaan (homofily) dengan menggunakan kemampuan empatik.
Lebih lanjut kita pahami bahwa ketika kita berkomunikasi dengan menggunakan simbol-simbol dengan orang lain dengan latarbelakang yang berbeda. Maka selanjutnya kita akan membahas komunikasi sebagai interaksi.
RELATIVITAS BAHASA
Bahwa setiap bahasa mempunyai ciri khas yang membedakannya dari bahasa yang lain. Ciri khas bahasa tersebut lahir akibat keragaman keadaan masyarakat dan budaya para penutur bahasa tersebut. Dengan kata lain, setiap masyarakat dan setiap budaya mempunyai bahasanya sendiri; yang cocok dengan keadaan lingkungan sosiokultural mereka. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk lebih gemar menggunakan bahasa asing daripada menggunakan bahasa asli atau bahasa ibu dalam konteks ini adalah bahasa Indonesia. Akhirnya anggapan-anggapan negatif terhadap bahasa Indonesia yang dilontarkan para penggemar bahasa asing akan gugur dengan sendirinya. Tidak ada bahasa yang lebih unggul dari bahasa lain. Setiap bahasa mempunyai kedudukannya masing-masing, anggapan keunggulan suatu bahasa terhadap bahasa lain adalah sesuatu yang bersifat relatif tergantung penafsiran masing-masing orang. Penafsiran tersebut lahir akibat penilaian dan persepsi sempit seseorang terhadap suatu bahasa.
Mengubah pandangan masyarakat Indonesia tentang kedudukan bahasa Indonesia terhadap bahasa asing memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Gambaran umum tentang keunggulan bahasa asing khususnya bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia telah terekam kuat di setiap otak masyarakat Indonesia sehingga secara tidak disadari kegemaran menggunakan bahasa asing menjadi suatu kebiasaan di kalangan masyarakat Indonesia. Mengubah suatu kebiasaan sangatlah tidak mudah dan membutuhkan kerja yang sangat keras. Pendekatan psikologis sangat diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kita harus mengubah penilaian dan persepsi sempit masyarakat Indonesia mengenai bahasa Indonesia. Kemudian menanamkan pemahaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bagian dari budaya bangsa yang diabadikan melalui peristiwa bersejarah tanggal 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda. Melestarikan bahasa Indonesia sama artinya dengan menghargai perjuangan para pahlawan bangsa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Butuh kesungguhan dan komitmen kuat seluruh elemen bangsa Indonesia untuk membuat bahasa Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
BAHASA SEBAGAI CERMIN BUDAYA
Bahasa Indonesia telah diakui sebagai bahasa persatuan sejak jaman dulu, tepatnya ketika dicetuskannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia telah melewati masa-masa dimana banyak sekali peristiwa sejarah yang merupakan fase perjuangan bangsa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, memerangi pemberontakan-pemberontakan, jaman orde baru, hingga sekarang. Seiring dengan adanya perubahan-perubahan kondisi tersebut, Bahasa Indonesia pun mengalami beberapa perubahan, baik dalam cara penulisan, pengucapan, penambahan dan pengurangan kosakata, perbaikan ejaan, dan lainnya, semua itu bertujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan penggunaan Bahasa Indonesia agar lebih baik. Sampai sekarang Bahasa Indonesia tetap indah untuk diucapkan, tetap indah didengar, tetap indah dibaca, tentu hal tersebut akan menjadi kenyataan kalau Bahasa Indonesia diucapkan dan ditulis dengan baik dan beretika.
Sastra Indonesia, yang merupakan karya hasil ungkapan perasaan, pikiran, emosi, yang dituangkan dengan bahasa baik lisan maupun tulisan juga mengalami banyak perkembangan, kita harus bangga karena hasil karya sastra bangsa Indonesia memiliki kualitas yang baik. Karya sastra menjadi tempat curahan hati, dimana bahasa yang ditumpahkan merupakan hasil penerjemahan dari ekspresi hati dan jiwa, pemikiran, kehendak dan lain-lain. Karena hal tersebut berhubungan erat dengan seni, budaya, dan keindahan, maka karya sastra memiliki nilai dan arti tersendiri. Sastra Indonesia harus dipertahankan kualitasnya sampai akhir hayat, karena dalam suatu karya sastra terdapat nilai-nilai emosi yang positif yang dapat memberikan makna petuah, nasehat, contoh, amanat, yang dapat memberikan pengaruh yang bermakna.
Untuk itu, Bahasa dan Sastra Indonesia harus tetap digunakan pada rel yang benar, agar perilaku generasi bangsa tidak semakin memburuk di masa depan. Hal ini penting, sebab bahasa merupakan sesuatu yang digunakan sehari-hari, apabila bahasa yang digunakan buruk, maka dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan perilaku buruk yang akan mempengaruhi kepada psikologi pribadi dan tata nilai di masyarakat. Jangan menganggap remeh bahasa yang digunakan sehari-hari, apakah itu Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah, yang jelas norma-norma dan kaidah-kaidah berbahasa sangat kuat pengaruhnya bagi diri pribadi dan bagi orang lain. Sudah pasti Bahasa Indonesia yang berlaku saat ini merupakan bahasa yang baik, di dalamnya terdapat amanat agar bangsa kita menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan bijaksana, dengan sopan dan beretika, hanya orangnya saja yang menggunakan Bahasa Indonesia terkadang tidak beretika, misalnya dengan berkata kasar, mencaci-maki, mencela, berbicara jorok, dan lain-lain.
Kenyataan yang terjadi sekarang, bahasa dan sastra kita digunakan secara tidak benar oleh orang-orang tertentu. Orang yang berbicara kasar akan memberi pengaruh negatif kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain yang melihat dan mendengarnya. Akibatnya bisa fatal, apakah itu akan terjadi perkelahian, kerusuhan, pertikaian, bahkan pembunuhan. Inilah hebatnya bahasa, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa berkaitan erat dengan moral dan etika, untuk itu wajib bagi semua orang menggunakan bahasa yang baik di lingkungan masyarakat. Dengan menggunakan bahasa yang baik dan beretika, orang lain akan melihat kita baik juga, akan berpikir dan menganggap bahwa diri kita merupakan orang yang baik dan patut dihormati. Sebaliknya apabila kita menggunakan bahasa dengan salah, bahkan dengan kasar, orang lain pasti akan menganggap kita orang yang tidak baik dan sebagai balasannya kita tidak layak dihormati, bahkan ekstrimnya bisa dikira kita orang gila yang tidak beradab. Di kalangan remaja sering terjadi kesalahan dalam berbahasa, yaitu dengan menggunakan kata-kata baru yang menurut mereka sedang musimnya berbicara atau menulis dengan kata-kata baru tersebut, dulu sekitar 20 tahun yang lalu remaja sering membolak-balik kata saat berbicara atau menulis, kemudian berganti lagi dengan yang baru, yang dirintis oleh artis Debby Sahertian dengan kata “gaul” nya, saat ini muncul lagi gaya bahasa yang sangat aneh, apalagi dalam cara penulisannya. Walaupun gaya bahasa dari tiap generasi berbeda-beda datang dan pergi silih berganti, namun Bahasa dan Sastra Indonesia yang baku tetap ada, tidak hilang.
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan sesamanya. Bahasa menjadi alat utama dalam menjaga dan membina hubungan dengan sesama, bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting. Membina hubungan dengan relasi bisnis dibutuhkan keterampilan berbahasa yang baik, makna dasarnya adalah harus selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar, tidak berkonotasi negatif. Dengan itu saja dapat diyakini rekan bisnis akan semakin mempererat hubungan bisnis dengan kita, tentu saja hal tersebut akan menguntungkan kedua belah pihak. Berbeda kalau misalnya kita tidak pandai menggunakan Bahasa Indonesia yang baik ketika melakukan komunikasi bisnis dengan relasi, hal tersebut akan membuat bisnis kita terganggu, yang akhirnya bisa merugikan perusahaan. Intinya adalah gunakanlah bahasa dengan baik, dengan beretika, karena bahasa merupakan cermin moral dan etika.
Dalam karya sastra, Bahasa Indonesia memiliki peran sebagai ujung tombak. Karya sastra yang tidak beretika dipastikan akan dikritik negatif oleh rakyat dan dilarang oleh pemerintah. Sastra Indonesia memiliki nilai sejarah yang tinggi, sejak Angkatan Pujangga Baru sampai sekarang, karya sastra kita memiliki kualitas tersendiri, dan hal itu harus dihargai dengan cara meneruskan perjuangan mereka dalam berkarya dengan menggunakan bahasa, seni yang bermoral dan beretika.
MENGURANGI KETIDAK PASTIAN
Teori pengurangan ketidakpastian merupakan salah satu teori komunikasi yang membahas mengenai strategi untuk mengurangi ketidakpastian kognitif dan perilaku dengan pencarian informasi melalui komunikasi dengan orang lain. Ketidakpastian kognitif merujuk kepada tingkat ketidakpastian yang dihubungan dengan keyakinan dan sikap tersebut. Ketidakpastian perilaku merujuk kepada tingkat ketidakpastian yang dihubungkan dengan perilaku.
Teori pengurangan ketidakpastian memiliki beberapa asumsi dasar, yaitu:
1. Orang mengalami ketidakpastian dalam latar interpersonal. Ketika berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya, seseorang cenderung tidak memiliki definisi yang akurat terhadap orang tersebut.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan, menimbulkan stress secara kognitif. Berdasarkan ketegangan dan ketidaknyamanan yang dialaminya, seseorang akan berusaha mencari informasi untuk mengurangi ketegangan yang ada.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas. Ketika bertemu dengan orang baru, seseorang akan membuat dugaan awal berdasar persepsinya. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang terjadi melalui tahapan-tahapan. Komunikasi interpersonal melalui komunikasi yang terjadi antara dua orang atau lebih dapat terjadi secara tatap muka maupun melalui media.
4. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi ketidakpastian.
5. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang lain akan berubah seiring berjalannya waktu.
6. Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan cara seperti hukum.
Kelebihan dan Kekurangan Teori
Kelebihan teori ini adalah merupakan salah satu teori yang lintas bidang ilmu(heurisme), memiliki nilai konsistensi logis yang tinggi, dan dapat digunakan untuk kajian masa kini maupun masa depan. Sedangkan, kekurangannya teori ini diilai kurang memiliki kegunaan karena mengurangi ketidakpastian mengenai diri sendiri dan orang lain dalam sejumlah perjumpaan awal bukanlah tujuan utama, yang menjadi tujuan utamanya adalah memaksimalkan hasil suatu hubungan.
KESADARAN DIRI
Mengendalikan orang lain hanya menunjukkan sebagian kebaikan karakter kita. Lao Tsu, filsuf Cina, pernah mengatakan, ”Menundukkan orang lain membutuhkan tenaga. Menundukkan diri kita sendiri membutuhkan kekuatan.” Ternyata lebih mudah bagi kita untuk menundukkan orang lain daripada menundukkan diri sendiri. Seperti kita ketahui bahwa salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti kita memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat kita dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi kita. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, kita dapat mengendalikan emosi dan perasaan kita.
Namun seringkali kita ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan diri kita. Oleh karena itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, kita harus senantiasa membuka kesadaran diri kita melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi.
MENGAPA KITA PERLU MENINGKATKAN KESADARAN DIRI ?
1. Musuh Terbesar Kita Adalah Diri Sendiri
Banyak hal yang dapat membuat kita lengah dan kurang waspada. Terjebak dalam rutinitas, berada di zona nyaman atau sikap yang terlalu bergantung pada orang lain. Hal itu membuat kita tidak siap menghadapi situasi darurat atau perubahan yang mendadak. Sebaliknya, sikap ambisi tak terkendali juga bisa membuat lupa diri dan berakibat fatal.
2. Situasi Di Sekitar Kita Berubah Setiap Saat
Kehidupan kita bagaikan orbit alam semesta. Ketika bumi berputar pada porosnya, ia juga beredar mengelilingi matahari. Hidup kita berubah, situasi di sekitar juga berubah. Hidup adalah perubahan dan hidup adalah perjuangan. Perubahan selalu membawa dinamika dan perjuangan selalu membutuhkan kewaspadaan. Perubahan bisa menjadi sebuah kemajuan, jika diwaspadai dan disikapi dengan positif. Tapi perubahan akan menjadi musuh dan penghambat bagi kita yang tidak pernah mengantisipasi dan mewaspadainya.
3. Kesadaran Diri Membangun Rasa Tanggung Jawab
Kesadaran diri berarti mengetahui dengan tepat apa yang sedang kita alami. Kesadaran diri menimbulkan respons dan sikap antisipasi. Sehingga kita mempersiapkan diri dengan baik menghadapi situasi yang sedang dan yang akan terjadi. Kesadaran diri secara positif membangun sikap tanggung jawab dalam diri kita. Hanya seorang yang bersedia mengambil tanggung jawablah yang mampu memenangkan peperangan.
BAGAIMANA CARA MENINGKATKAN KESADARAN DIRI ?
1. Mengenali kekuatan dan kelemahan pribadi.
2. Melatih kepekaan untuk memahami situasi.
3. Belajar berkonsentrasi dan bersikap fokus.
4. Selalu mengevaluasi diri dan kondisi di sekitar kita.
5. Memiliki nilai-nilai pribadi sebagai tolak ukur kehidupan.
Melalui pengendalian emosi, penguasaan diri dan kedisiplinan kita dapat lebih memahami diri kita dan bagaimana cara memanfaatkan potensi luar biasa dalam diri kita sehingga kita menjadi manusia yang lebih cerdas secara spiritual. Namun, semua ini tidak akan ada artinya jika kita tidak melakukan sesuatu. Kita harus melakukan sesuatu untuk mencapai kehidupan yang berkelimpahan dan berkualitas, karena hanya kita sendiri yang dapat mengubah kehidupan kita.
INTERAKSI AWAL
Interaksi awal manusia terjadi melalui sentuhan, ketika lahir merespon
rangsangan fisik yang dirasakan oleh kulit sebagai indra perasa yang aktif. Sentuhan alamiah pada bayi sesungguhnya sama artinya dengan tindakan mengurut atau memijat, kalau tindakan ini dilakukan secara teratur dan sesuai dengan tata cara dan teknik pemijatan bayi, bisa menjadi terapi untuk mendapatkan banyak manfaat buat si bayi. Pemijatan ini tidak perlu di lakukan oleh dukun pijat bayi sebab pemijatan dapat dilakukan oleh ibu bayi. Banyak penelitian menunjukan, penerapan dari terapi sentuhan yang di wujudkan dalam bentuk pemijatan bayi memberikan manfaat sangat besar pada perkembangan bayi, baik secara fisik maupun emosional (Luize, 2006). Pijat akan merangsang peningkatan aktivitas nervus yang akan menyebabkan penyerapan lebih baik sehingga bayi akan cepat lapar dan bayi akan lebih sering menyusu pada ibunya, akibatnya ASI akan lebih banyak diproduksi (Utami Roesli, 2001). Terapi pemijatan dapat mengurangi kegelisahan dan hormon stress pada bayi yang baru lahir. Pemijatan bayi yang baru lahir memacu kepercayaan diri dengan baik untuk pertumbuhan otak, serta memperbaiki pencernaan dan perilaku. Ketika terapi pemijatan tersebut diberikan oleh ibu bayi, pemijatan tersebut juga membuat yang memijat (ibu bayi) merasa lebih baik atau nyaman sama seperti pada bayi yang dipijatnya, sekaligus member pengobatan yang efektif dan berharga.
MEMAKSIAMALKAN HASIL INTERAKSI

Semenjak manusia dilahirkan akan tumbuh dan berkembang dengan melalui interaksi sosial yang mereka kembangkan. Oleh sebab itu banyak ahli sosiologi mengatakan bahwa inti proses sosial ada pada interaksi sosial. Pada saat itu pula secara berangsur-angsur mulai tumbuh pengenalan akan norma. Norma tersebut antara lain adalah norma sosial, norma keluarga, norma agama (Judistira Ghrama, 1991:4). Norma-norma tadi sebenarnya dapat digeneralisasikan hampir sama pada setiap masyarakat manusia. Hanya yang membedakan adalah nilai-nilai yang melekat.Pada norma tersebut (Soedjatmoko, 1973:30). Pokok utama pengenalan norma tadi kebanyakan melalui inteaksi sosial. Sebagao contoh kongkrit tentang norma; seseorang dapat dikategorikan berhasil dalam pendidikan formal apabila telah memenuhi tuntutan norma yang melekat. Norma tersebut antara lain lulus ujian pada tingkat tertentu, atau pada jenjang pendidikkan tertentu yang dituntutnya. Norma ini juga akan mengiring seseorang pada tataran/jenjang tertentu dalam proses pendidikan.Norma pendidikan serupa ini ditegaskan oleh Harahap (1979:17) bahwa norma itu merupakan kriteria atau ukuran tentang sesuatu untuk menentukan sesuatu itu buruk, baik, gagal atau berhasil. Kaitannya dengan dengan tugas guru, berarti guru yang juga bertugas memberikan penilaian, ini berarti juga menerapkan norma pada sesuatu. Sesuatu tadi diantarnya proses hasil belajar. uraian tersebut jika didefenisikan secara padat itulah disebut prestasi belajar. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa merupakan hasil akhir dari suatu rangkaian proses kegiatan yang merupakan interaksi sejumlah komponen Belajar-Mengajar dengan diri siswa. Kemudian dihubungkan dengan norma tertentu yang distandardisir serta terukur.
Adapun yang termasuk dalam komponen Belajar-Mengajar dari pihak guru ialah, intensitas guru memberikan pelajaran, cara atau metoda mengajar, bimbingan yang diberikan guru sehingga terjadi proses pemahaman dalam belajar. Surahmad (1973:162) lebih jauh menjelaskan bahwa pemahaman belajar itu akan terbentuk apabila:
(1) belajar terjadi dalam kondisi yang berarti secara individual !
(2) adanya interaksi sosial yang intens antara guru dengan murid!
(3) hasil pelajaran adalah kebulatan tingkah laku,
(4) siswa menghadapi secara pribadi,
(5) belajar adalah mengalami.
Berkaitan dengan point dua di atas maka keputusan pemerintah untuk mengembangkan konsep kokurikuler dalam kegiatan Proses Belajar-Mengajar adalah suatu yang tepat. Sebab interaksi sosial paling dimungkinkan dalam rangka pengembangan tugas-tugas kokurikuler. Adapun pengertian kokurikuler sendiri diartikan sebagai kegiatan diluar jam pelajaran biasa yang bertujuan agar siswa lebih mendalami dan menghayati apa yang dipelajarinya pada kegiatan intrakurikuler baik program inti maupun program khusus (Team Penyusun Instruksional Dirjen Dikdasmen, 1985:1). Dengan kegiatan kokurikuler ini akan terjalin interaksi sosial antara guru dan murid, sehingga terbentuklah suasana belajar yang kondusif.
Lebih lanjut dalam petunjuk teknis dijelaskan bahwa kegiatan kokurikuler hendaknya dilaksanakan secara perorangan atau kelompok berupa penugasan yang menjadi pemasangan penugasan tatap muka. Oleh sebab peran interaksi sosial antara guru dengan murid untuk mengembangkan tugas-tugas kokurikuler menjadi begitu penting. Ini dapat dilihat dari porsi waktu yang diberikan untuk kegiatan kokurikuler, seperti yang tertuang dalam Juknis Dikdasmen (1985:3) bahwa banyaknya waktu kegiatan kokurikuler adalah stengah kali kegiatan tatap muka perminggu. Jika guru mampu memanfaatkan pola-pola hubungan interksional dengan muridnya melalui media kokurikuler ini, maka tidak mustahil wibawa guru akan terbentuk. Kewibawaan ini muncul karena murid mengalami sendiri peran bimbingan guru. Kewibawaan sendiri dalam proses belajar-mengajar adalah sesuatu yang diperlukan.
Interaksi Sosial
Peluang seperti ini jika dilihat secara mendalam dengan menggunakan kacamata teori fiducary yang dikemukakan oleh Tallcot Parsons (1978:12), ternyata bahwa medan interaksi sosial dapat membangun kedekatan jarak ini akan membuahkan tingkat keintiman antara pelaku sosial. Dengan keadaan demikian ini berakibat pada sikap saling terbuka untuk saling memahami, saling menghayati antara satu dengan yang lain. Munculnya pemahaman ini karena munculnya empaty antara guru dengan muridnya. Empaty yang dikemukankan mampu merasakan yang orang lain rasakan, adalah suatu tataran tingkat tinggi dari proses sosial melalui interaksi sosial.
lebih jauh teori fiducary menggambar bahwa pada saat orang berinteraksi jika digambarkan akan diperoleh gambaran sebagai berikut :
Individu A berinteraksi dengan individu B akan membentuk bangun medan fiducary (C). Semakin inten pergaulan antara A dan B akan semakin melebar medan fiducary. Walaupun tidak mungkin secara signifikan penuh membentuk medan tersebut.
Pada medan fiducary itu dinamika interaksi sosial berlangsung. Oleh sebab itu Soekamto (1990:67) mengatakan proses sosial. Lebih lanjut dijelaskan muatan yang ada dalam medan fiducary ini ialah adanya proses imitasi, sugesti, identifikasi, simpati. Muatan tersebut bisa berjalan sendiri-sendiri atau secara bersamaan. Asalkan dua syarat harus dipenuhi yaitu, (1) adanya kontak sosial yang terus menerus dan, (2) ada komunikasi yang terus menerus. Kegiatan belajar-Mengajar antara guru dengan siswanya merupakan salah satu bentuk kontak sosial yang terus menerus. Kontak sosial ini akan terus terbangun jika komunikasi yang mereka kembangkan juga akan berlangsung secara terus menerus. Kontak sosial yang hanya dibangun pada saat kegiatan kurikuler, belum begitu cukup untuk membentuk medan fiducary yang bermakna dalam pendidikan. Melalui kegiatan kokurikuler, diharapkan akan menambah frekuensi dan makna interaksi sosial, sehingga proses pendidikan untuk menuju kekedewasaan yang mandiri akan segera tercapai.
Pembahasan
Seperti telah disinggung bahwa proses pendidikan berlangsung bahwa proses pendidikan berlangsung atas dasar proses kontak sosial yang berjalan terus menerus juga komunikasi yang terus menerus. Pada proses ini berlangsung transfer ilmu pengetahuan, perilaku, dan sikap sosial. Wujud nyatanya secara sosiologis dapat berawal dari simpati sugesti, identifikasi dan imitasi.Pendidikan formal yang berlangsung secara non formal melalui kegiatan kokurikuler, akan mempermudah terbentuknya kontak sosial yang menciptakan medan fiducary, dengan seluruh muatannya. Akibat lanjut proses pendidikan akan berjalan menjadi akan berjalan menjadi begitu alami. Keadaan ini akan menjadi semakin baik lagi manakala guru tetap pada koridor gezah. Oleh Langeveld (Mustopa, Achyat, 1978:12) di jelaskan bahwa gezah-lah yang membedakan pergaulan biasa dengan pergaulan pendidikan pergaulan yang bermuatan gezah ini pergaulan yang penuh tanggung jawab antara guru dan murid. Prosesnya penuh dengan muatan pembentukan watak dan kepribadian.Kepatuhan murid terhadap guru bukan kepatuhan karena takut, akan tetapi kepatuhan karena keprofesionalan guru. Hubungan keprofesionalan ini begitu kental manakala guru mampu menunjukkan dan membimbing muridnya kepada langkah-langkah pendidikan yang telah diprogramkan. Sekaligus dalam hal ini guru menjadi pengasuh agar murid mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perjalanan kodrat manusianya.Hubungan sosial demikian sangat diperlukan pada dunia pendidikan. Dunia pendidikan yang penuh muatan interaksi sosial, menjadi sangat positif apabila ada keseimbangan dalam pola hubungan. Pola keseimbangan dimaksud adalah pola hubungan timbal balik yang berlaku dua arah, dalam arti pada posisi tertentu murid dapat bermitra dengan gurunya. Kemitraan dimaksud dalam rangka proses pendidikan. Kemitraan guru dan murid ini dalam pendidikan diwadahi dalam kegiatan kokurikuler.Hasil penelitian yang dilakukan khusus mengenai kegiatan kokurikuler pada mata pelajaran Bahasa Inggris di SLTP (Sudjarwo, 1993), menunjukan bahwa siswa yang memiliki frekuensi tinggi berhubungan dengan gurunya, memiliki kesempatan yang banyak untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan interaksi sosial dengan guru akan mengakibatkan berpeluang besar untuk membesarkan medan fiducary.
Atas dasar itu, maka proses interaksi sosial yang bermuatan pendidikan akan terjadi dengan munculnya proses sosialisasi. Termasuk dalam proses ini meliputi antara lain:
a. Kerjasama
Kerjasama yang diberi makna oleh Soekamto (1990:79) sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Kondisi ini jika dilihat di dunia pendidikan,maka kegiatan kokurikuler merupakan media untuk membangun hubungan kerja sama antara guru dengan murid dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
b. Akomodasi.
Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti ( Soekamto,1990:82 ) yaitu untuk menunjukkan pada suatu keadaan, dan menunjukan pada suatu proses. Akomodasi yang menunjukan pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara para pelaku interaksi dengan nilai-nilai sosial atau norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Akomodasi sebagai suatu proses menunjukan pada usaha-usaha pelaku interaksi untuk meredakan sutu pertentangan karena ketidak sepahaman,guna mencapai suatu kestabilan. Akomodasi pada paparan ini lebih mengacu kepada akomodasi dalam bentuk proses. Melalui kegiatan kokurikuler diharapkan terbentuk saling pengertian antar guru dengan murid sesuai dengan posisi masing-masig.Pertentangan karena ketidak tahuan keadaan diri pada masing-masing pelaku interaksi. Dapat terjembatani oleh karena adanya kegiatan kokurikuler antara guru dengan murid.
Dengan demikian kegiatan kokurikuler sbenarnya memiliki nilai positif jika dilihat dari aspek proses Belajar- Mengajar.Karena mendudukan guru dan murid pada gari sejajar.
Maksudnya adalah proses belajar-mengajar adalah proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan nak didik sehingga terjadi proses belajar.Proses mengorganisir lingkungan kemudian menghubungkannya dengan murid adalah pekerjaan pendidikan yang cukup sulit.Guru dituntut untuk selalu jeli dalam rangkamempilah,lingkungan yang bagaimana yang harus diciptakan sehingga kemudian akan menjadikan proses pendidikan berlangsung.Proses penciptaan lingkungan sendiri sudah harus dikaitkan dengan lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Kedua hal tersebut tidak dapat diabaikan atau ditinggalkan sama sekali.Mengelola keduanya untuk dapat dikaitkan dengan murid sehingga terjadi proses sosialisasi nilai.Proses sosialisasi nilai-nilai edukatif akan sangat besar peluangnya untuk terjadi jika dilaksanakan dengan pola kokurikuler.Oleh sebab itu kegiatan kokurikuler sangat menunjang untuk dapat menjadikan program pengairan diterima oleh murid. Dengan demikian itu wujud pengorganisiran lingkungan menjadi bermakna secarasosiologis apabila ada manfaat yang dapat diambi oleh siswa.Manfaat tersebut untukjangka panjang akan membawa murid mencapai kedewasaan yang mandiri. KesimpulanKegiatan kokurikuler yang dikembangkan untuk proses belajar, adalah suatu yang sangat tepat jika diterapkan secara terprogram. Aktivitas kokurikuler akan berhasil dengan baik manakal guru mampu memprogram kegiatan kokurikuler dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimilikioleh siswa. Potensi tersebut meliputi; keinginan untuk berhubungan dengan orang lain,mengaktualisasikan dirinya dengan dunia ,melalui bimbingan guru.
Dengan melaksanakan kegiatan kokurikuler tersebut pekerjaan guru menjadi semakin berat.Diakui bahwa mendesain kegiatan kokurikuler memerlukanpelatihan dan kesiapan yang tidak mudah. Namun demikian jika sistem ini diterapkan sekalipun minimal, maka akan dapat dirasakan dampaknya terhadap kemajuan belajar para murid.